FDS dan 5 Hari Belajar di Sekolah, Ancaman bagi Pendidikan Islam!
Ahad, 20 November 2016 | 19:48 WIB
Oleh Suwendi
Tersiar kabar bahwa Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan langkah kebijakan 5 (lima) hari belajar di sekolah. Kebijakan ini ditengarai sebagai upaya tindak lanjut atas inisiasi kebijakan penyelenggaraan FDS (full day school) oleh Prof. Muhadjir Effendy yang disuarakan di awal-awal pelantikan dirinya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Langkah kebijakan ini tampaknya semakin nyata dan diperkuat dengan proses drafting Keputusan Presiden tentang Penetapan Hari Belajar pada Satuan Pendidikan Formal Tingkat Dasar dan Menengah yang akan menetapkan 5 (lima) hari kerja dalam satu minggu.
Dengan diberlakukannya 5 (lima) hari kerja dalam satu minggu ini maka siswa pada sekolah diharuskan melakukan proses pendidikannya hingga sore hari. Sebagai implikasinya, kebijakan ini juga harus melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang diantaranya perlu perubahan atas ekuivalensi beban kerja guru. Di samping itu, langkah kebijakan ini akan berimplikasi pada sejumlah regulasi-regulasi dan kebijakan ikutannya yang tidak sedikit menuntut untuk dilakukan perubahan.
Langkah kebijakan FDS melalui 5 (lima) hari belajar di sekolahini dilakukan konon untuk memberi penguatan atas pendidikan karakter pada anak-anak usia sekolah serta memperkuat nilai-nilai moral atau akhlak dan kepribadian peserta didik. Hal ini sebagai bagian dari implementasi gerakan nasional revolusi mental melalui tanggung jawab dan kerjasama antar pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat baik pendidikan di sekolah, di rumah, dan lingkungan belajar lain yang terintegrasi. Untuk kepentingan itu, diperlukan penyesuaian jumlah hari belajar untuk memberikan kesempatan pembelajaran yang sama untuk berinteraksi dengan sumber belajar di rumah dan di masyarakat. Intinya adalah kebijakan FDS itu tetap diselenggarakan melalui penetapan lima hari belajar di sekolah.
Menurut hemat penulis,langkah kebijakan ini memiliki implikasi yang sangat krusial terutama terkait dengan penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam, seperti Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), Pendidikan Al-Quran seperti TKA (Taman Kanak-Kanak Alquran), TPA (Taman Pendidikan Alquran), dan TQA (Ta’limul Quran lil-Awlad), serta kegiatan kajian kitab bagi para siswa yang mondok di pondok pesantren. Dalam tulisan ini diuraikan sejumlah implikasi atas pendidikan keagamaan Islam dan tawaran yang dilakukan terkait dengan kebijakan FDS ini.
Kondisi Obyektif
Sebagaimanadiatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, setidaknya terdapat sejumlah nomenklatur dalam pendidikan Islam yang di antaranya adalah pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan pendidikan Alquran. Lembaga-lembaga ini berada pada jalur nonformal yang berfungsi untuk memberikan layanan kepadaseluruhanakbangsayangberagama Islam agar dapat memenuhi kewajiban dirinya sebagai seorang muslim dan/atau menjadi ahli di bidang ilmu agama Islam. Ketiga lembaga pendidikan keagamaan Islam ini telah lahir dan terus berkembang sebelum negara ini terbentuk. Kelahiran sejumlah lembaga ini juga menjadi pemenuhan atas kebutuhan masyarakat agar mereka mendapat pengetahuan agama yang baik, setidaknya dalam menunaikan kewajiban-kewajiban individunya (fardlu ain)sebagai seorang musim. Sebab, beban belajar Pendidikan Agama Islam di sekolah yang hanya dialokasikan 2-3 jam pelajaran dalam satu minggu itu tidak dapat membekali secara cukup atas pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan kewajiban dirinya (fardlu ain) sebagai muslim itu.
Data EMIS (Education Management Information System) Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016 menunjukkan data untuk masih-masing nomenklatur itu sebagai berikut.
1. Pondok Pesantren
Jumlah pondok pesantren seluruh Indonesia berjumlah 28.961 lembaga, yang terdiri atas pesantren sebagai satuan pendidikan (hanya mengaji saja) yang biasa disebut pesantren salafiyah sebanyak 15.057 lembaga (51.99%) dan pesantren sebagai penyelenggaran pendidikan (di samping mengaji juga mengadakan pendidikan formal, seperti Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi dan nonformal, seperti Program Wajar Dikdas Salafiyah Ula/Wustha, Paket A/B/C dll) sebanyak 13.904 lembaga (48.01%).
Adapun jumlah santri secara total berjumlah 4.028.660 orang. Dari jumlah santri tersebut, santri yang mengikuti layanan pendidikan Madrasah (MI/MTs/MA) berjumlah 1.858.352 orang (46.13%), layanan pendidikan Sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) berjumlah 1.343.230 orang (33.34 %), layanan perguruan tinggi berjumlah 67.320 orang (1.67 %), layanan Pendidikan Kesetaraan (Program Wajar Dikdas Salafiyah Ula/Wustha, Paket A/B/C) berjumlah 82.046 orang (2.04 %), dan yang hanya mengaji kitab saja berjumlah 677.712 orang (16.82 %), dengan jumlah ustad/kyai sebanyak 322.328 orang.
Di masyarakat, terdapat sejumlah organisasi yang mendampingi pengembangan pondok pesantren, baik yang dibentuk oleh organisasi masyarakat Islam seperti NU dan Muhammadiyah, maupun yang dibentuk oleh inisiasi masyarakat pesantren itu sendiri. Organisasi itu di antaranya adalah RMI-NU (Rabithah Maahidil Islamiyah Nahdlatul Ulama), FKPP (Forum Komunikasi Pondok Pesantren), FSPP (Forum Silaturahim Pondok Pesantren), FKPM (Forum Komunikasi Pesantren Muadalah), Asosiasi Mahad Aly Seluruh Indonesia, dan sejumlah organisasi lainnya. Mereka berdiri atas dorongan semangat dan dulungan dari internal masyarakat itu sendiri.
Proses penyelenggaraan pendidikan pesantren seperti ngaji kitab dan lain-lain bagi siswa yang sekolah/madrasah, yang berjumlah 3.201.582 jiwa atau 79.4% dari populasi santri pada pondok pesantren itu diselenggarakan setelah belajar pada satuan pendidikan formal, yang biasanya dilakukan mengikuti waktu-waktu shalat. Mereka mengkaji kitab kuning dan kajian keislaman untuk membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam, dan di samping dengan pembentukan karakter, akhlakul karimah serta keleladanan oleh seluruh stakeholder pondok pesantren.
2. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT)
MDT diselenggarakan untuk melengkapi, memperkaya, dan mendalami pendidikan agama Islam pada sekolah secara berjenjang dan terstruktur.MDT untuk siswa SDdijenjang Ulayang dilakukan selama 4 tahun, untuk siswa SMP di jenjang Wustha selama 2 tahun, dan siswa SMA/SMK di jenjang Ulya selama 2 tahun. Materi yang dikaji meliputi mata-mata pelajaran Alquran, Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab serta program pengayaan kepribadian dan keagamaan lainnya.
Proses penyelenggaraan pendidikan MDT ini dilakukan setelah mereka selesai mengikuti layanan pendidikan pada jalur formal, yang biasanya dilakukan pada jam 13.30 hingga 16.30-an.
Data EMIS Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016 menunjukkan bahwa jumlah lembaga MDT saat ini sebanyak 76.566 lembaga (MDT Ula sebanyak 72.853 lembaga, MDT Wustha sebanyak 10.330 dan MDT Ulya sebanyak 1.613 lembaga), dengan jumlah santri secara total berjumlah 6.000.062 jiwa (MDT Ula sebanyak 5.472,140 orang, MDT Wustha sebanyak 451,989 orang dan MDTUlya sebanyak 75,933 orang), dan jumlah ustad sebanyak 443.842 jiwa.
Proses penyelenggaraan MDT ini diinisiasi dan diberikan dukungantermasuk finansial dari masyarakat, sementara dari Kementerian Agama dan pemerintah daerah bersifat bantuan imbal swadaya.
Di sejumlah Pemerintah Daerah, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota, telah dilahirkan sejumlah Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota agar penduduk muslim mengikuti layanan MDT ini. Hampir di propinsi yang mayoritas muslim telah diberlakukan aturan ini atas inisiasi masyarakat dan Pemerintah Daerah dan DPRD setempat. Dalam amatan penulis, di Provinsi Jawa Barat, hampir 80% dari seluruh pemerintah daerah kabupaten/kota telah mengeluarkan Peraturan Daerah Wajib Belajar Pendidikan MDT ini. Demikian juga, sejumlah pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi-provinsi lainnya juga telah menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan lainnya untuk dukungan MDT ini.
Di masyarakat, telah terdapat sejumlah organisasi masyarakat berasal dari komunitas MDT baik yang dilakukan oleh organisasi masyarakat Isam maupun kalangan internal MDT, seperti Ma’arif, FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah), KKDT (Kelompok Kerja Diniyah Takmiliyah), dan lain-lain. Organisasi-organisasi ini secara hirarkis terdapat mulai di tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, hingga desa.
3. Pendidikan Alquran
Secara kelembagaan, pendidikan Alquran yang berkembang di masyarakat memiliki beberapa variasi, biasanya tergantung pada lembaga pembina yang menanganinya, seperti BKPRMI (Badan Koordinasi Pemuda/Remaja Masjid Indonesia), JQH (Jamiyatul Qurra Wal Huffazh), Aisyiyah, dan lain-lain. Untuk usia pendidikan dini dan dasar, setidaknya terdapat lembaga pendidikan: TKA (Taman Kanak-Kanak Alquran) untuk usia 4-7 tahun, TPA (Taman Pendidikan Alquran) untuk usia -11 tahun, dan TQA (Ta’limul Quran lil-Awlad) untuk usia 11-17 tahun. Saat ini pendidikan Alquran itu berjumlah 134.860 lembaga, santri sebanyak 7.356.830 jiwa, dan ustad sebanyak 620.256 orang.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan Alquran itu menggunakan sejumlah bahan ajar, seperti Metode Iqra’, Metode Al-Baghdadi, Metode Qira`ati, dan lain-lain yang diarahkan untuk tata cara membaca dan pengenalan huruf hijaiyah, membaca dan menulis Al-Quran, hingga Tahdizh Al-Quran.Penyelenggaraan kegiatan pendidikan Alquran ini dilakukan di sejumlah tempat yang lebih fleksibel, seperti tempat ibadah mushalla dan masjid, rumah ustad, balai atau ruang terbuka, dan lain-lain.
Proses pendidikan pada lembaga pendidikan Alquran ini dilakukan setelah mengikuti layanan pendidikan formal, yang biasanya diselenggarakan pada kisaran pukul 14.00 hingga menjelang maghrib, dan pada beberapa masyarakat pedesaan dilakukan setelah shalat maghrib.
Pembiayaan pendidikan Alquran bersumber dari masyarakat dan Kementerian Agama hanya bersifat bantuan imbal swadaya, dengan dana yang sangat terbatas.
Implikasi Kebijakan FDS dan 5 (Lima) Hari Belajar di Sekolah
Berdasarkankondisi obyektif di atas, kebijakan FDS dan Penetapan Hari Belajar selama 5 (lima) hari dalam satu mingguakan berimplikasi terhadap penyelenggaraan layanan Pendidikan Keagamaan Islam di atas. Secara rinci dapat disampaikan tabel berikut.
Tabel
Layanan Pendidikan Keagamaan Islam yang Terkena Dampak Atas Kebijakan FDS dan 5 (Lima) Hari Belajar di Sekolah
No Nomenklatur Lembaga Santri Ustad
1 Pondok Pesantren 13.904 3.201.582 322.328
2 Madrasah Diniyah Takmiliyah 76.566 6.000.062 443.842
3 Pendidikan Alquran 134.860 7.356.830 620.256
Jumlah 225.330 16.558.44 1.386.426
Catatan: Yang terkena dampak atas kebijakan FDS dan 5 (Lima) hari belajar di sekolah pada nomenklatur pondok pesantren sejumlah 13.904 itu hanya pada pondok pesantren sebagai penyelenggara pendidikan, yakni di samping menyelenggarakan kajian kitab juga menyelenggarakan layanan pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Demikian juga jumlah santri sejumlah 3.201.582 itu adalah santri yang di samping belajar pada pondok pesantren juga mengikuti layanan pendidikan pada madrasah dan sekolah.
Implikasi atas kebijakan FDS dan 5 (Lima) hari belajar di sekolah terhadap layanan pendidikan keagamaan Islam ini dapat berbentuk sebagai berikut:
1. Terganggunya proses pembelajaran pendidikan keagamaan Islam. Proses pembelajaran pendidikan keagamaan Islam hanya dalam ruang waktu yang sangat sedikit, untuk mengatakan tidak ada waktu sama sekali. Tata kelola penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam sangat susah untuk terselenggara dengan baik.
2. Tidak tercapainya tujuan pendidikan atas layanan pendidikan keagaman Islam. Layanan pondok pesantren yang bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan keagamaan berbasis kitab itu akhirnya tidak akan tercapai, mengingat sudah tidak adanya waktu bagi santri untuk mengkaji kitab. Waktu yang hampir seharian digunakan unuk sekolah, para santri tidak memiliki waktu lagi untuk membaca dan menimba ilmu keagamaan termasuk mengaji kitab.
3. Gulung tikarnya layanan pendidikan keagamaan Islam. Layanan pendidikan keagamaan Islam terutama yang berbentuk MDT dan pendidikan Alquran sangat besar kemungkinan menjadi terhenti. Hal ini telah terjadi pada beberapa daerah yang telah menerapkan kebijakan penyelenggaraan 5 (lima) hari untuk sekolah sehingga MDT dan Pendidikan Alquran kini menjadi gulung tikar dan tidak dapat beroperasi lagi. MDT dan pendidikan Alquran tidak dapat berjalan degan baik, akibat ketidaktersediaan waktu untuk belajar.
4. Pemerintah Daerah yang telah menetapkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan MDT tentu akan menghadapi kendala yang cukup serius. Kebijakan yang selama ini telah berlangsung tidak dapat dijalankan, mengingat keterbatasan waktu dan gulung tikarnya lembaga MDT itu sendiri.
5. Ketidakberlangsungan layanan pendidikan keagamaan Islam di masyarakat memungkinkan terjadinya pendangkalan pengetahuan agama sehingga rawan untuk terjebak pada pemikiran dan gerakan radikal.
Terkait dengan pemikiran dan gerakan radikal di kalangan pelajar sekolah, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Institute for Peace and Islamic Studies)pada tahun 2010 telah melakukan penelitian dengan responden sebanyak 2.639 guru Pendidikan Agama Islam pada SMA/SMK dan 611.678 siswa/siswi SMA/SMK yang diajarinya di wilayah Jabodetabek dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.Pertama, pada aspek organisasi radikal, dari 66.4% guru yang mengenal organisasi radikal, ternyata ada 23.6% mereka setuju terhadap apa yang dilakukan organisasi radikal itu. Sementara dari 25.7% siswa/siswi SMA/SMK yang mengenal organisasi radikal itu, ternyata ada 12.1% mereka menyetujui agenda-agenda organisasi radikal itu. Kedua, pada asepek sang tokoh radikal, dari 59,2% guru yang mengenal tokoh radikal ternyata 23,8% di antaranya setuju dengan yang dilakukan sang tokoh radikal. Dari 26.8% siswa/siswi SMA/SMK yang mengenal tokoh radikal ternyata 13.4% di antaranya mereka setuju terhadap yang dilakukan oleh sang tokoh radikal.
Penelitian ini menunjukkan bahwa baik dari guru Pendidikan Agama Islam maupun siswa/siswi SMA/SMK di Jabodetabek yang mengenal terhadap organisasi radikal dan tokohnya itu separuhnya mereka menyetujui terhadap agenda dan apa yang dilakukan oleh organisasi dan tokoh radikal itu. Ini artinya tantangan radikalisme di sekolah sangat luar biasa dan tidak bisa dipandang enteng.
Tawaran Solusi
Selaras atas iktikad atas rencana Kebijakan FDS dan 5 (Lima) Hari Belajar di Sekolahdimaksud untuk membentuk karakter anak, maka beberapa tawaran dapat disampaikan sebagai berikut.
1. Tidak diperlukannya kebijakan yang mengatur jam belajar untuk sekolah selama 5 (lima) hari dalam satu minggu. Sebab, jika diberlakukan selama 5 (lima) hari maka proses pembelajaran di sekolah akan berlangsung hingga sore hari, dan itu akan mematikan penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam yang selama ini telah berlangsung.
2. Kebijakan FDS lebih diarahkan pada penyelenggaraan proses pendidikan karakter melalui layanan pendidikan keagamaan Islam (bagi yang muslim) melalui layanan pendidikan pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran. Siswa sekolah melakukan proses pembelajaran sebagaimana mestinya, setelah itu kemudian mereka diminta untuk mengikuti layanan pendidikan pada pondok pesantren (bagi yang tinggal di pesantren), atau mengikuti layanan MDT atau Pendidikan Alquran (bagi yang tidak tinggal di pondok pesantren).
Oleh karenanya, perlu ada kebijakan secara sinergis antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri serta Pemerinrah Daerah itu sendiri yang mengintegrasikan penyeleggaraan pendidikan keagamaan Islam ini (MDT dan Pendidikan Alquran) dengan sekolah. Kebijakan integrasi ini juga dipastikan jangan sampai berimplikasi pada lembaga pendidikan keagamaan Islam yang telah ada (existing) itu tercerabut dan menjadi gulung tikar. Untuk itu, peran serta organisasi masyarakat yang membidangi tertuama pada MDT dan Pendidikan Alquran perlu dilibatkan secara intens. Demikian juga kebijakan integrasi ini dipastikan memenuhi syarat dan kriteria terutama bagi guru-guru yang mengampu pada mata-mata pelajaran pendidikan keagamaan itu sehigga pendidikan keagamaan Islam dapat berjalan sesuai maksud dan orientasinya yang benar.
3. Pembahasan kebijakan FDS dan 5 (Lima) Hari Belajar di Sekolah ini perlu melibatkan komunitas masyarakat yang membidangi layanan pendidikan keagamaan Islam. Unuk pondok pesantren, perlu dilibatkan Rabithah Ma’ahidil Islamiyah (RMI) dan FKPP (Forum Komunikasi Pondok Pesantren). Untuk MDT, perlu dilibatkan FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah) dan Ma’arif. Untuk pendidikan Alquran, perlu dilibatkan BKPRMI (Badan Koordinasi dan Pemuda Remaja Masjid Indonesia), Aisyiyah, Jamiyatul Qura Wal Huffazh, dan lain-lain.
4. Kebijakan yang melibatkan pendidikan keagamaan Islam selayaknya menggunakan prinsip dan pendekatan buttom-up, bukan top-down. Sebab, pendidikan keagamaan Islam bukan hanya semata-mata dimiliki oleh pemerintah, namun keberadaannya sangat tergantung dari kekuatan masyarakat itu sendiri.
Demikian. Semoga manfaat.
Suwendi, alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan pendiri Pondok Pesantren Nahdlah Bahriyah Cantigi Indramayu Jawa Barat.