Opini

Defisit Budaya dan Tradisi Nusantara (1)

Selasa, 27 November 2018 | 13:45 WIB

Defisit Budaya dan Tradisi Nusantara (1)

Kethoprak Puspo Budoyo (istimewa)

Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

Pada 23 November 2018 malam, saat menyaksikan pagelaran kethoprak 'Puspo Budoyo' dalam rangkaian upacara Kebo Ketan di desa Sekaralas, Ngawi, Jawa Timur, saya serasa berada pada era 1970-an. Tata panggung dengan hiasan pilar-pilar bergambar patung Gupala lengkap dengan ukiran klasik.

Mikrofon yang digantung dengan geber kain berlapis-lapis yang menggambarkan suasan pada setiap adegan, benar-benar membuat roda waktu berputar balik membawaku ke masa 40 tahum silam.

Struktur pertunjukan kethoprak malam itu juga sangat klasik. Dimulai dengan uyon-uyon gendhing klasik, dilanjutkan dengan langen beksan (pertunjukan tari) sebagai pembuka. Setelah itu adegan demi adegan dimulai dengan jejer, dialog, tutur bahasa dan subo sito (tata krama) yang sesuai adat kerajaan Jawa.

Bahkan gaya dagelan dan mentari ndagel juga khas 70-an. Semua ini membawa kami makin terhanyut pada kenangan masa silam. Lebih-lebih saat melihat para penjual makanan dan mainan yang berjajar di seputar panggung dengan lampu ublik dan sentir.

Selain wayang dan gambus (perpaduan sandiwara dan musik), kethoprak merupakan tontonan tradisional yang populer di Pati waktu saya kecil. Seringkali saya mbolos dari pondok dan mendapat takzir gara-gara nonton kethoprak. Para era 70-an pertunjukan kethoprak banyak dilakukan untuk memeriahkan sedekah bumi dan laut, perayaan 17-an atau saat hajatan (nikah dan sunat), termasuk saat haul. Saya masih ingat menyksikan krethoprak saat perayaan khaul Mbah Mutamakkin Kajen yang dimainkan dilapangan secara tobongan.

Di daerah Pati, beberapa grup krethoprak yang terkenal pada saat itu diantaranya Dhamo Mudo pimpinam Yusuf Aqil, seorang keturunan Arab yang sangat mencintai budaya Jawa. Mudho Rahayu pimpinan Sri Ningsih, mantan istri Yusuf Aqil yang mendirikan grup kethoprak setelah cerai dengan Yusuf Aqil. Selain itu ada grup Sri Kencono, Wahyu Budoyo, Siswo Budoyo dari Bakaran dan lain-lain.

Selain dalam bentuk panggung pertunjukan, kethoprak pada saat itu juga dinikmati dalam bentuk audio. Kaset-kaset kathoprak diputar di radio dan speaker Toa saat pesta hajatan. Grup kethoprak rekaman yang terkenal dan menyedot perhatian masyarakat pada saat itu adalah "Sapta Mandala" pimpinan Bagong Kussudiardjo dengan pemain bintangnya Widayat, Marsidah dan Kadariyah. Kethoptak ini terkenal dengan lakon serialnya yang legendaris 'Manggoloyudo Sudiro'. Lakon carangan yang menarik perhatian publik.

Lakon legendaris lainnya yang menarik masyarakat adalah Syekh Jangkung atau Saridin yang dimainkan oleh grup kethoprak Sri Kencono dengan bintang utama Tumijan yang memerankan tokoh Saridin. Pada saat itu hampir setiap hajatan dan stasiun radio di Pati memutar serial lakon saridin. Pelawak yang terlenal pada saat itu diantaranya Sawo, Kecik dan Markum

Selain lakon dengan latar sejarah kerajaan Nusantara, juga dipentaskan beberapa lakon menak yang bersumber dari Timur Tengah, khususnya Persia dan Turki, seperti lakon Amir Hamzah, Kapten Lasaro, Dewi Adininggar dan sebagainya.

Selain sebagai hiburan, pertunjukan kethoprak merupakan sarana penanaman nilai dan pengenalan sejarah pada anak-anak dan masyarakat. Saya sendiri merasa banyak mengenal tokoh sejarah dan beberapa peristiwa momimental dari lakon kethoprak.

Meski masih sulit dibedakan antara legenda, mitos dan fakta, namun bagi saya kethoprak menjadi semacam guideline untuk mengkaji sejarah secara akademik. Selain itu kethoprak juga bisa mengenalkan beberapa tacacara adat keraton, ungah ungguh bahasa, nilai-nilai, norma dan berbagai makan yang ada di balik ritual dan simbol-simbol tradisi.

Yang menarik, pada saat itu para seniman kethoprak bebas melakukan eksplorasi kreatifitas. Bahkan mereka bisa menjadikan agama sebagai bahan humor tanpa ada yang merasa tersinggung atau menganggap sebagai pelecehan agama. Misalnya ketika Markum memaknai ash sholatu khairum minan naum dengan "sebaik-baik orang adalah yang bernama markum".

Juga ketika kecik menyebut ada ayat yang berbunyi wal fuqara qulubihum" yang diartikan "yang suka ngorok namanya Markum". Semua diterima secara lapang dada dan dianggap sekadar lelucon yang menghibur.

Demikian juga saat menampilkan lakon yang terkait dengan orang suci yang dihormati seperti wali dan ulama. Ketika terlibat dalam kepentingan politik yang penuh intrik mereka ditampilkan sebagai sosok mamusia biasa yang tidak lepas dari kepentingan pribadi dan kelompok.

Seperti terlihat dalam lakon Ario Penangsang gugur yang melibatkan intrik antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus. Juga keterlibatan para wali dalam intrik perebutan kekuasaan di Demak, seperti tercermin dalam lakon Syekh Siti Jenar, Sunan Prawoto, dan lain-lain. Semua dipaparkan secara vulgar dan dramatik.

Saat itu tak ada umat Islam yang merasa bahwa hal itu merupkan pelecehan terhadap para wali atau penodaan terhadap kesucian ulama. Semua dianggap sebagai drama yang layak dinikmati dan dijadikan cermin kehidupan. 

Inilah bagian dari wajah bangsaku yang memiliki apresiasi tinggi terhadap seni dan tradisinya sendiri serta mampu bersikap arif dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Mereka bisa memilah mana ajaran dan mana tradisi dan menempatkannya secara proporsional. (bersambung)


Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UNUSIA) Jakarta


Terkait