Oleh Aswab Mahasin
Saya teringat ceramah yang pernah disampaikan oleh KH. Said Aqil Siradj, kurang lebihnya beliau mengatakan, “benteng paling kokoh dalam menjaga ketentraman/kerukunan umat berbangsa dan beragama adalah mereka para kiai kampung yang selalu mengajarkan sabar, nrimo, bersyukur, dan ikhlas”.
Kiai kampung hidup dalam kesederhanaan, fokus mereka hanya mengajar para santri dan masyarakat. Padatnya jadwal tersebut membuat kiai kampung tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal di luar pengabdiannya kepada masyarakat. Konsekuensi yang diterima kiai kampung sebenarnya tidaklah mudah, ia harus siap kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun menerima tamu dan menampung semua keluhan masyarakat. Tidak sedikit santri/masyarakat yang curhat tentang permasalahan hidupnya.
Di kalangan masyarakat desa/kampung, orang yang disebut kiai benar-benar menjadi panutan utama, model tersendiri, dan contoh dari kebaikan moral. Kiai diakui memiliki kelebihan, bukan saja mengenai keilmuan Islam, melainkan keahlian dan kebijaksanannya dalam mencari solusi masalah kehidupan.
Tidak hanya itu, kiai kampung sangat memerhatikan sekali masyarakatnya, sampai-sampai kiai mengetahui siapa saja yang setiap hari ikut berjama’ah. Ada sebuah kisah turun-temurun, di Desa Susukan, Cirebon (kebetulan saya besar di daerah tersebut); “sosok KH Bunyamin Mardi, pendiri Pondok Pesantren Ulumuddin, adalah sosok yang disegani masyarakat. Setiap hari, selepas habis maghrib banyak masyarakat yang mengantri mengaji, khususnya mengaji al-Qur’an. Dengan sangat istiqomah beliau melayani semuanya, tanpa pilah-pilih”.
“Kisah lainnya; Selepas jama’ah sholat, Kiai Bunyamin melihat seluruh jama’ahnya, ketika mendapati ada satu atau dua jama’ah tidak hadir, Kiai Bunyamin menanyakan, kemana si fulan tidak ikut jama’ah. Jawabannya pun bervariasi dari setiap jama’ah, untuk mengobati rasa penasaran, Kiai Bunyamin keesokan harinya langsung mendatangi rumah si fulan, dikhawatirkan sedang sakit. Kiai bunyamin, dengan membawa kantong kresek yang berisi makananbersilaturahmi ke rumah si fulan dengan ramah sembari mendoakaan. Kebiasaan ini terus dilakukan oleh Kiai Bunyamin sampai beliau meninggal”.
Melihat cuplikan kisah tersebut, dakwah kultural Kiai Bunyamin menjadi cara beliau untuk selalu mengajak pada kebaikan, tidak dengan paksakan, melainkan dengan sentuhan kasih sayang.
Kiai kampung adalah kiai yang humanis, memperlakukan santri dan masyarakatnya seperti sahabat/keluarganya sendiri.Kalau boleh dikatakan, peran kiai kampung dalam menjaga stabilitas bangsa sangatlah besar. Kiai kampung langsung bersentuhan dengan masyarakat dan selalu mengambil tindakan langsung ketika ada masalah, entah sosial maupun kultural. Karana rasa tanggung jawab yang dibangun para kiai kampung lebih besar. Di sinilah yang dinamakan dakwah kultural membangun umat. Tidak serta merta mengajarkan pengetahuan melainkan ada tindakan nyata, teladan kebaikan.
Kiai Kampung dan tantangan zaman
Di era serba berkembang sekarang ini, dengan model intimidasi kebudayaan luar biasa, peran kiai kampung sangat dibutuhkan. Tidak sedikit masyarakat desa—sudah bergaya kota, hal itu disebabkan oleh perkembangan zamanyang susah dikontrol. Informasi terbuka lebar dan akses kepada hal-hal negatif pun mudah. Apalagi dibarengi dengan semaraknya berita-berita hoax yang punya potensi memecah belah.
Gus Dur pernah mengadakan pertemuan dengan para kiai kampung, salah satu ide Gus Dur adalah berharap kiai kampung tidak meninggalkan desanya (pesantrennya), kiai kampung harus membuat gerakan sosial-keagmaan yang intens untuk mengimbangi tantangan zaman. Keprihatinan Gus Dur ini di awali dari banyaknya kiai kampung terjun dalam politik praktis, yang sebetulnya mereka tidak punya kapasitas. Mereka hanya ikut-ikutan.
Seharusnya, di era globalisasi ini, kiai kampung mempunyai fungsi lebih di masyarakat. Kontribusi dalam membangun masyarakat harus dijadikan sebagai tujuan awal. Sekarang ini, sudah banyak pesantren (diasuh oleh kiai kampung) menutup diri dari masyarakat. Dan bagi saya, hal tersebut bukanlah sikap yang bijak.
Saya teringat buku dengan judul “Runtuhnya Singgasana Kiai”, yang ditulis oleh KH Zainal Arifin Thoha, beliau menuliskan hal menarik pada cover depan buku tersebut, “Generasi santri, generasi pesantren, dan para kiai itu sendiri yang lupa diri dan tenggelam dalam kepentingan sesaat, baik itu kekuasaan ataupun kemewahan, sesungguhnya adalah pertama-tama yang menjadi penyebab runtuhnya singgasana kiai; penyebab padamnya cahaya pencerahan bagi bumi”.
Dalam kesadaran kultural dunia kiai dan masyarakat, perubahan sosial terutama yang berkenaan dengan modernisasi, sesunggugnya dirasakan membawa arus yang kurang positif. Namun, satu sama lain tidak memiliki upaya seimbang untuk keluar dari jeratan zaman. Kalau pun mereka mampu, tetap terasa “tanggung”, masyarakat sudah sedikit hilang kepercayaan dengan kiai, dan kiai sudah tidak min haitsu la yahtasib.
Oleh karena itu, kiai harus istiqomah meruat bangsa ini, melalui arus bawah dengan metode dakwah kultural yang menyejukkan, karena kesadaran kultural hanya bisa dibangun melalui dakwah kultural yang terus menerus. Masyarakat butuh diingatkan, butuh contoh, dan butuh panutan. Kelupaan masyarakat akan kesadaran adalah wajar. Dan kiai mempunyai tugas mengingatkan. Bukan malah meninggalkan atau menutup diri.
Titik temu
Era industri sekarang ini, ada pergeseran pola komunikasi, masyarakat mobilitasnya semakin tinggi. Perubahan komunikasi itu tidak hanya dirasakan antara masyarakat dengan masyarakat tetapi keluarga dengan keluarga pula. Otomatis terjadi kesenjangan dalam pola interaksi, penyampaian pendidikan, penyampaian bimbingan orang tua terhadap anak, dan penyampaian guyub antar masyarakat susah untuk dilakukan. Hal ini menjadi salah satu hambatan bagi keselasaran/keseimbangan untuk merajut harmoni.
Menurut mendiang Richard Nixon, mantan Persiden Amerika, pernah juga dikutip oleh Gus Dur dalam tulisannya Hakikat Kiai Kampung, “komunikasi kita sekarang adalah “mayoritas yang diam” (silent majority). Dari sinilah, kita lalu dipaksa menerima kebisuan sebagai alat komunikasi. Hal-hal seperti ini menunjukan kita harus mampu memahami hak ikat segala permasalahan.”
Dengan demikian, pendekatan kiai kampung dengan masyarakat polanya harus dirubah, yang dibentuk adalah sistem sosial penuh gagasan. Tidak menutup kemungkinan, kiai kampung menggerakan masyarakat membentuk sebuah “Taman Bacaan Masyarakat” sebagai pertemuan intelektual atau sosial antar penduduk.
Tidak hanya itu, kiai kampung juga sebagai penggerak massa yang dipercaya oleh masyarakat memengaruhi masyarakat untuk membangun “ruang steril” bagi anak-anak, yang mana setiap hari libur bisa menjadi tempat bermain anak, diisi dengan dongeng, mengaji, dan belajar tentang alam.
Mungkin ide ini terlalu berlebihan, tapi realitas sekarang menghendaki hal demikian, dengan tidak meninggalkan rutinitas-rutinitas yang sudah mapan, seperti mengaji setiap habis maghrib, yasinan bergiliran di setiap rumah, mendatangi tahlilan syukuran/kematian, dan majlis-majlis ilmu lainnya. Setidaknya pola di atas sebagai terobosan untuk mengimbangi masyarakat yang aktif di era industri sekarang. Atau sebagai respon kultural—bagain dakwah kultural kiai kampung.
Hakikat kiai kampung tetap utuh, sebagai pengayom, berdakwah ala Wali Songo, dan menerima semua keluhan warga, tanpa lelah dan penuh kesabaran. Nasihat-nasihat kebangsaan, keagamaan harus terus dilakukan oleh para kiai kampung agar eksistensi persatuan bangsa kita tetap terjaga, kita semua tahu pergolakan sosial sekarang sedang mengkhawatirkan, penjajahan kebudayaan, ideologi radikalisme, dan isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kiai kampung mempunyai peran untuk memfilter itu semua, agar masyarakat tidak terpengaruh oleh hal-hal yang dapat memecah belah. Menyitir petuah dari KH Said Aqil Siroj, “kiai kampung harus terus membangun optimisme pada masyrakat, karena ini penting, sebagai pembangunan karakter bangsa”. Semoga kiai-kiai kita selalu diberi kesehatan. Amin
Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.