Opini

Cinta Jabatan dah Harta

Kamis, 14 Juli 2011 | 07:42 WIB

Oleh : Moh. Safrudin


Ada sahabat saya beliau seorang PNS yang tahun ini sudah memasuki usia  pensiun atau purna bakti sewaktu beliau masih aktif dia menduduki sejumlah jabatan strategis dan mendapatkan berbagai macam fasilitas, seperti mobil mewah, kemana-mana mendapatkan pengawalan, tasnya dibawakan oleh ajudannya, hampir setiap bulan ia melakukan perjalanan ke Jakarta naik peasawat  serta mendapatkan biaya perjalanan dinas dari pemerintah.

Ketika sudah pensiun ia merasa kurang nyaman dengan statusnya saat ini maka ia berusaha untuk tetap menduduki jabatan yang sebelumnya pernah ia tempati karena ia cinta kepada jabatan dan harta.
<>
Tatkala seseorang terlalu mencintai jabatan, maka ia akan  rela mengeluarkan uang berapapun jumlahnya. Maka, uang dianggap menjadi sangat penting. Tanpa uang jabatan tidak akan diperoleh.

Sementara lainnya, tanpa  mengaitkan dengan jabatan, seseorang sangat menyukai uang. Memiliki banyak uang diangap berprestise dan aman. Hidupnya akan dihargai orang dan merasa terjamin. Oleh karena itu,sehari-hari aktivitasnya hanya mencari uang, apapun caranya ditempuh. Bagi mereka yang terpenting uang terkumpul sebanyak-banyaknya. Tidak peduli, usahanya itu ternyata merugikan orang lain.

Kecintaan terhadap harta yang sedemikian mendalam, hingga tatkala memilih sekolah pun yang dijadikan pertimbangan adalah sekolah atau bidang ilmu yang mendatangkan banyak uang. Apapun selalu  dikaitkan dengan uang. Padahal terlalu mencintai jabatan, harta, uang dan sejenisnya, pada hakekatnya adalah bagian dari akhlak yang kurang baik. Dalam pandangan Islam, orang yang terlalu mencintai jabatan dan harta disebut sebagai hubbul jah dan hubuul mal.

Sehari-hari kita menyaksikan, tidak sedikit pejabat atau elite bangsa, sedemikian rupa mereka mencintai jabatan dan harta. Terjadinya kasus-kasus korupsi, suap menyuap, sogok menyogok, mafia, pemalsuan dokumen pemerintah dan lain-lain  itu, sebenarnya adalah oleh karena didorong oleh kecintaan mereka terhadap jabatan dan harta kekayaan itu.

Bahkan konflik-konflik di antara para elite bangsa yang terjadi selama ini, misalnya dalam kasus bank Century, Gayus Tambunan, pemalsuan dokumen, konflik intern partai, dan lain-lain  adalah terkait dengan uang. Akibatnya, para pejabat tinggi dipanggil dan diperiksa oleh KPK dan atau kejaksaan. Semua itu bukan menyangkut persoalan besar, semisal terkait falsafat hidup atau ideologi, melainkan menyangkut hal sederhana, yaitu terlalu mencintai  jabatan dan uang. 

Padahal orang yang terlalu mencintai harta dan jabatan, maka hati dan pikirannya menjadi gelap. Norma, tata krama, etika, nilai-nilai agama, moral dan lain menjadi tidak lagi diperhatikan. Bagi sementara orang, yang penting jabatan dan harta berhasil diraih dan atau dikumpulkan. Bahkan harga dirinya rela dikorbankan, untuk memenuhi kecintaannya terhadap dua hal tersebut.

Mereka sebenarnya tahu bahwa korupsi, suap menyuap, dan sogok menyogok serta mafia yang dilakukan akan membawa resiko besar terhadap dirinya. Akan tetapi, oleh karena pikiran kejahatannya itu terdeteksi dan kemudian tertangkap, maka harkat dan martabatnya akan jatuh hingga posisi yang serendah-rendahnya.

Persoalan ingin mempertahankan jabatan dan mendapatkan harta, oleh karena bersumber dari hati, tidak akan bisa dihilangkan melalui mekanisme penjara dan sejenisnya. Hanya dengan dipenjara, mereka tidak akan malu atau jera. Apalagi tatkala  penjara sudah dianggap sebagai hal umum, atau hal lazim.  Bukti bahwa hukuman penjara tidak efektif sudah cukup banyak. Betapa mudah kita temukan, orang sekian lama dipenjara, tetapi juga tidak jera. Bahkan  ada sementara orang  berkalkulasi, untung rugi. Misalnya, dipenjara selama 5 tahun tidak mengapa, asalkan masih untung mendapatkan sisa uang dari hasil korupsinya. Mereka berpikir, bahwa di luar penjara, mendapatkan uang juga tidak mudah.  

Oleh karena persoalan korupsi, suap menyuap, sogok menyogok dan berbagai mafia itu adalah persoalan akhlak, maka cara menanggulanginya adalah juga melalui pembenahan akhlak. Akhlak bangsa ini harus diperbaiki. Caranya adalah melalui pendidikan yang benar. Pendidikan yang benar sebetulnya telah dicontohkan oleh rasulullah. Tinggal mau atau tidak melaksanakannya. Nabi berhasil membangun masyarakat Madinah juga menmggunakan pendekatan akhlak, hingga sampai-sampai dikatakan bahwa, ia diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Sementara ini, pemimpin bangsa selalu menyebut bahwa persoalan di negeri ini terletak pada  ekonomi, demokrasi dan keadilan. Pandangan itu tidak terlalu salah. Memang di negeri ini membutuhkan peningkatan ekonomi, demokrasi dan keadilan. Kiranya pandangan itu tidak ada yang membantahnya. Namun yang perlu dilihat kembali adalah, apakah rendahnya tingkat ekonomi, demokrasi, dan keadilan itu merupakan sebab atau justru sebagai akibat.

Tampak dengan jelas bahwa perbuatan korup, sogok menyogok, suap menyuap, justru terjadi di kalangan elite dan atau orang-orang yang sudah bergelimang dengan harta. Mereka korupsi bukan karena miskin, atau untuk mempertahankan hidup, melainkan oleh karena kecintaan terhadap jabatan dan harta itu. Dengan demikian, maka lebih tepat dikatakan bahwa, keadaan itu disebabkan oleh karena merosotnya akhlak sementara  elite bangsa. 

Negeri yang kaya raya sumber alam, umpama saja para elite bangsa dan rakyatnya berakhlak mulia, maka tidak tidak akan terjadi kesenjangan, kemiskinan, saling menindas dan merugikan sesama. Indonesia sebenarnya bukan negara miskin, tetapi yang terjadi adalah kesenjangan yang sedemikian lebar. Beberapa orang menguasai kekayaan yang luar biasa besarnya, sementara sebagian besar lainnya sangat miskin. Harta kekayaan hanya berputar-putar di kalangan orang kaya, maka akibatnya ekonomi tidak berjalan sempurna, sehingga terjadi kemiskinan di mana-mana.

Suasana berbagi kasih sayang, saling  tolong menolong dan saling menguatkan tidak terjadi. Sebaliknya yang muncul adalah, sebagian orang memonopoli, tamak atau rakus, dan bahkan menghisap oleh yang kuat terhadap yang lemah. Rasa kemanusiaan tidak tumbuh dan bahkan tumpul. Akibatnya, kemiskinan  terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, yang sebenarnya terjadi  di negeri ini adalah kemerosotan  akhlak.

Memperbaiki akhlak, harus melalui pendidikan yang benar, ketauladanan dari para pemimpin, tegaknya hukum, dan menjaga keadilan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Oleh karena itu cara yang tepat untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini adalah, agar semua secara bersama-sama elite dan rakyat, segera menunaikan agamanya masing-masing secara utuh dan sebaik-baiknya. Insya Allah, akhlak akan menjadi terpelihara, dan berbagai persoalan bangsa akan terselesaikan. Wallahu a’lam.

Ketua Departemen Ideologi dan Agama GP. Ansor Sultra Peneliti Sangia Institute


Terkait