Opini

‘Bogor Message’ dan Kembalinya Moderasi Islam

Jumat, 11 Mei 2018 | 04:30 WIB

‘Bogor Message’ dan Kembalinya Moderasi Islam

Perumusan Bogor Message KTT ulama-sedunia. (Foto: Kumparan)

Oleh Rohmatul Izad

Kondisi masyarakat yang adil, makmur, damai dan inklusif merupakan cita-cita kita bersama dalam membangun sebuah peradaban. Itulah kira-kira yang menjadi kesimpulan dari terselenggarnya KTT Islam Washatiyah di Bogor beberapa waktu yang lalu. Perkumpulan umat Islam di acara konferensi itu ingin menampilkan ajaran dan moralitas Islam yang moderat dan beradab.

Paradigma moderasi Islam menjadi tema utama dalam mewujudkan agama yang damai, agama yang berkeadilan dan agama peradaban yang prinsip dan ajaran dasarnya mengajarkan cinta kasih, harmoni, persatuan, kesetaraan berdasarkan asas kebebasan, perdamaian, dan kesopanan antar sesama. 

Menjadi penting bagi kita semua untuk mengembalikan moderasi Islam sebagai satu-satunya pegangan yang paling relevan di tengah peradaban modern yang maju sekaligus menunjukkan kekacauan global, adanya ketidakpastian dan akumulasi kerusakan global, diperparah oleh kondisi kemiskinan dan berbagai bentuk kekerasan, baik ditingkat nasional maupun global.

Pertemuan yang menghasilkan “Bogor Message” harus dijadikan rujukan dalam mengajak publik Islam dunia untuk mengaktifkan kembali moderasi Islam di tengah gempuran kaum ekstremis yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan tertentu. Dengan mengakui bahwa paradigma wasathiyah Islam sebagai ajaran utama dalam Islam, sebuah ajaran yang telah dipraktikkan dalam perjalanan sejarah sejak era Nabi Muhammad Saw dan Khalifah yang dibimbing dengan benar (al-Khulafah al-Rashidun).

Ajaran-ajaran itu harus dibawa ke periode modern hingga kontemporer dan disebarluaskan ke berbagai negara di seluruh dunia. Umat Islam harus menegaskan kembali peran dan tanggungjawab moral para cendekiawan Muslim untuk memastikan dan memelihara generasi masa depan untuk membangun peradaban Ummatan Wasatan.

Ada empat poin penting yang dihasilkan KTT umat Islam yang mengarah pada moderasi Islam. Pertama, mengaktifkan kembali paradigma wasathiyyah Islam sebagai ajaran utama Islam yang meliputi tujuh nilai utama, yakni tawassuth (jalan tengah), i’tidal (berperilaku proporsional dan adil dengan penuh tanggungjawab), tasamuh (mengakui dan menghormati perbedaan), syura (musyawarah/konsensus), islah (reformatif), qudwah (merintis inisiatif mulia), dan muwathanah (mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan).

Kedua, menjunjung tinggi nilai-nilai paradigma wasathiyyah Islam sebagai budaya hidup secara individual dan kolektif, dengan melambangkan semangat dan eksemplar dari sejarah peradaban Islam. Ketiga, memperkuat tekad untuk membuktikan kepada dunia, bahwa umat Islam sedang mengamati wasathiyyah Islam dalam semua aspek kehidupan.

Keempat, mendorong negara-negara Muslim dan komunitas untuk mengambil inisiatif untuk mempromosikan paradigma wasathiyyah Islam, melalui World Fulcrum of Wasathiyyah Islam, sebuah masyarakat yang adil dan damai berdasarkan ajaran Islam.

“Bogor Message” ini pada prinsipnya adalah sebuah upaya mengaktifkan kembali moderasi Islam yang telah diajarkan dan dipraktikan langsung sejak era Rasulullah. Hasil keputusan perkumpulan umat Islam ini merupakan bukti bahwa Islam harus dikembalikan pada jalur utamanya, jalur resminya dan memurnikan Islam pada moderasi yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Jika umat Islam menginginkan masa depan Islam dapat lebih baik dan mampu memberikan kontribusi bagi tantangan zaman, maka moderasi adalah satu-satunya jalan yang paling tepat. Moderasi adalah kritik sekaligus solusi, kritik untuk mereka yang mengambil jalur kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan mereka yang menginginkan kehancuran peradaban modern dengan secara bersamaan mengantikan ide-ide modern dengan hukum Tuhan. Sebagai solusi, moderasi dapat dijadikan jalan bagi terwujudnya Islam yang adil dan damai.

Pesan utama yang disampaikan oleh Grand Syekh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib, juga dapat menjadi renungan bersama. Menurutnya, tidak penting untuk memperdebatkan apa sesungguhnya makna wasathiyyah di kalangan umat Islam, sebab  yang terpenting hari ini adalah bagaimana menarik pembicaraan ini dari ruang teoritis ke arah praktis. Kita semua membutuhkan solusi daripada sekedar memperdebatkan satu istilah di ruang akademis yang kaku dan penuh teori-teori.

Ia menuturkan, kita jangan hanya sekedar menunjukkan keindahan-keindahan Islam, sebab yang lebih penting adalah bagaimana menunjukkan kembali esensi dari seluruh ajaran dalam Islam yang sebenarnya bersifat moderat. Esensi ini harus kita praktikkan dalam realitas kehidupan dengan menegaskan bahwa siapapun yang mencoba menggeser sikap moderat ke salah satu kubu radikal, baik kubu ekstremis maupun liberal, kedunya menyebabkan perpecahan dalam umat Islam.

Kembalinya moderasi Islam juga mengajarkan kepada kita untuk menyadari betapa kelompok yang keras, berlebihan, hingga mengharamkan yang dihalalkan Tuhan, merupakan kelompok pengrusak yang sama persis sebagaimana seseorang yang melampaui syariat Tuhan. Mereka semua pada dasarnya adalah kelompok yang melalui batas-batas ajaran Islam dan telah berdusta dengan klaim bahwa ia sedang menjalankan tuntutan Tuhan.

Istilah al-wasathiyyah sebenarnya telah sering disandarkan kepada Islam, ia menegaskan tentang jati diri Islam yang moderat. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 143, umat Islam disebut dengan ungkapan ummatan wasathan, yakni umat yang moderat, umat yang selalu mengambil jalan tengah dalam mengambil setiap keputusan dan penyelesaian masalah, serta umat yang menjauhkan diri dari kekerasan atas nama agama. Sebab moderasi pada prinsipnya adalah menahan diri dan menghindar dari tindakan-tindakan ekstrem.

Paradigma Wasathiyyah Islam haruslah menjadi benteng utama umat Islam, sebab belum ada satu paradigma yang lebih relevan bagi keberislaman hari ini kecuali menampilan Islam yang moderat, Islam yang dapat melingkupi semuanya dan memberikan solusi bagi kekacauan global dan kemunduran moral kita, serta sebuah benteng bagi masuknya ajaran-ajaran yang ekstrem. Kita menginginkan sebuah perubahan, maka moderasi Islam adalah sebuah keniscayaan.


Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta


Terkait