Oleh: Nasrulloh Afandi
Dari beberapa menteri, kabinetnya Presiden Joko Widodo yang berkenan nyambung komunikasi dengan saya, figur Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin Zuhri, patut ditulis, untuk dijadikan tokoh teladan publik. Dengan penampilannya yang kalem, lemah lembut, santun sederhana dan tidak dibuat-buat, sedikitnya ada tiga hal yang saya dapatkan teladan darinya:
1. Konteks Politik
Ia tulen berdarah biru NU, putra dari KH Saefuddin Zuhri
(tokoh NU, pernah Sekretaris Jenderal PBNU dan juga pernah menjadi Menteri Agama).
Posisinya sebagai darah ningrat d ilingkaran elite NU, dengan kharisma dan jaringan orang tuanya yang sangat luas, ia sangat punya peluang untuk (jika mau) melakukan politisasi NU. Tetapi beliau tidak pernah melakukan hal itu, Gus Lukman tidak menjadikan NU sebagai alat atau tumbal politik pribadi, kepentingan keluarga atau golongannya.
Hal itu, berbeda jauh dengan para politisi tidak berkualitas, yang kerap nyaring teriak-teriak mengaku diri paling pejuang NU, hingga bukan hanya dinding rumah dan tempat parkir yang berlogo NU, namun sandal jepit, gelas, piring, sendok hingga celana “kolor” miliknya pun berlogo NU.
Tapi sayangnya, mereka hanya memperalat NU untuk kepentingan politik praktis, memperjuangkan kepentingan pribadi, atau memperbesar yayasan / lembaga pendidikan milik keluarga, maksimal golongannya, dengan memperalat NU atas nama berjuang untuk NU.
Sekali lagi, hal itu tidak berlaku bagi Gus Lukman Hakim.
Kebijakannya pun selama menjabat menteri agama, tidak kontaversial, dan tergolong pejabat yang bersih, tidak korup.
2. Konteks Interaksi Sosial
Adiknya Gus Dur, KH Salahuddin Wahid(Gus Solah) yang juga kaka ipar menteri Gus Lukman itu, pernah bercerita pada saya:" Ciri khas keluarga besar KH Wahid Hasyim dan keluarga besar KH Saefuddin Zuhri adalah tidak akan pernah menjadi sombong atau pilah-pilih teman dalam berinteraksi soial. Meskipun jadi menteri, atau jadi presiden sekalipun, tetap rendah hati, ramah dan berkenan berinteraksi sosial dengan siapapaun, tanpa memandang status sosialnya".
Gus Lukman, beliau terhitung menjabat Menteri Agama sudah dua periode (pertama beberapa bulan menggantikan Suryadharma Ali) dan kembali tepilih pada jabatan sama kabinet Jokowi hingga periode sekarang.
.
Sebagaimana Gus Dur ketika menjabat presiden, ia beserta keluarganya tetap low profile. Lihatlah Gus Lukman, beliau tetap low profil, santai , rendah hati, tidak "rumongso" sebagaimana kebanyakan pejabat tinggi.
.
Faktanya, saya Nasrul (Guru Ngaji) di kampung, yang akrab bersarung dan sandal jepit pun, selalu direspon komunikasinya oleh beliau dengan No Hp pribadi (bukan no asistenya). Bahkan di waktu luangnya, beliau kadang mengajak diskusi ilmiah dengan saya. Hal semacam ini, tidak saya temukan pada pejabat sekelas beliau, meskipun beliau-beliau juga berkenan komunikasi dengan saya.
Hal ini berbeda jauh dengan fenomena publik, banyak terdapat orang yang hanya baru jadi staf pejabat, atau hanya jadi pejabat pemula, atau pejabat daerah, atau hanya sekelas PNS pemula, tapi sudah "over dosis" pilah- pilih kawan komunikasi, jaga jarak dalam pergaulan, tak jarang meninggalkan kawan lawa.
Yang sangat menggelikan, banyak orang hanya karena jadi pengurus pusat di sebuah ormas besar tertentu, kok mendadak dirinya beserta keluarga “over dosis” berubah gaya, bak pejabat tinggi, serba protokoler, pilah-pilih kawan.
3. Konteks Generasi Elite Kiai
Gus Lukman, bagi saya ia seorang gus besar dengan pemikiran modern. Identiknya sebagai orang yang terlahir dari keluarga NU modern, ia berbeda dengan gus-gus tradisionalis, tidak sebagaimana di daerah –derah tertentu, banyak "gus-gus" yang manja. Bahkan berlebihan membanggakan nasab, hingga banyak gus yang terlena dengan kebesaran nasab. Risikonya lupa membangun kualitas diri, sejak remaja banyak gus sudah bermalas-malasan untuk mencari ilmu, lalai membangun kualitas diri.
Berbeda dengan Gus lukman, tampaknya ia adalah hasil amaliah pesan ilmiah dalam buku karya KH Saefuddin Zuhri, orang tuanya: "Guruku Orang-orang dari Pesantren".
Dalam buku otobiografi itu, tergambar jelas, bagaimana Kiai Saefuddin Zuhri menanamkan kemandirian pada putra-putrinya sejak anak-anak, mencampakkan kemanjaan.
Sejak kecil, pribadi Gus Lukman, tidaklah sebagai mana layaknya "kemanjaan" para gus, apalagi tempo dulu (saat gus Lukman kecil) itu kebanyakan para gus sangat berlebihan "manjanya".
Coba kita renungkan? Nyaris banyak orang “desa” yang lupa atau bahkan tidak tau, bahwa Menteri Agama bernama lukman Hakim adalah gus besar. Putra Kiai besar.
Buktinya? Tidak pernah terdengar ada orang yang memanggil beliau menteri agama, dengan sebutan gus, meski saya pribadi terbiasa memanggil beliau dengan sebutan “gus”.
Fenomena itu berbeda jauh dengan tradisi “keluarga kiai” di Jawa, yang sangat memanjakan seorang gus. Dan banyak putra kiai yang berlebihan membangga-banggakan statusnya sebagai gus. Padahal hanya kelas putra kiai tingkat “kecamatan” atau tingkat “desa”.
Di sisi lain juga, marak orang bukan dari kalangan gus, namun menjadikan gelar "gus" itu untuk pencitraan, modal sigfnifikan menjadi caleg/kepala daerah, meskipun ia bukan gus, pun kualitas kepemimpinan diri jauh di bawah stadar. Sekali lagi, hal itu tidak berlaku bagi Gus Lukman.
Andai saja, para elite-elite politik, pejabat publik ataupun generasi elite kiai, dari kalangan Nahdliyin, berakhlak seperti Gus lukman, betapa indahnya negeri ini.
29 Juni 2017
Penulis adalah guru ngaji di Pesantren Asy- Syafi'iyyah, Kedungwungu, Krangkeng Indramayu Jawa Barat