Opini

Belajar Majukan Pendidikan dari Pesantren Cipasung

Jumat, 16 September 2016 | 04:08 WIB

Belajar Majukan Pendidikan dari Pesantren Cipasung

Gerbang Pondok Pesantren Cipasung.

Oleh Anggi Afriansyah

Akhir pekan ini, Ahad, 18 September 2016 Pondok Pesantren Cipasung akan menyelenggarakan Peringatan Haul ke-39 Almaghfurlah KH Ruhiat (pendiri Ponpes Cipasung) dan Peringatan Haul ke-9 Almaghfurlah KH M. Ilyas Ruhiat (Pimpinan Pesantren Cipasung 1977-2007). Peringatan haul ini menjadi momen yang tepat untuk mempelajari rekam jejak kedua Ajengan tersebut dalam kontribusinya bagi dunia pendidikan, khususnya di tataran priangan. 

Sosok KH Ruhiat dikenal sebagai tokoh yang memiliki keberanian besar dalam perjuangan melawan penjajah. Bersama KH Zaenal Mustafa asal Ponpes Sukamanah, ia aktif berjuang hingga harus rela keluar masuk penjara. Sedangkan, KH Ilyas Ruhiyat, sering disebut Ajengan Santun menjadi Rais Aam PBNU tahun 1994-1999. Keduanya sangat aktif di Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU).  

Mendidik umat

Ponpes Cipasung sudah eksis sejak tahun 1931. Situasi perjuangan kemerdekaan sangat kental ketika itu. Periode di mana perjuangan bangsa sedang bergejolak. Pada awal berdiri, sudah ada 40 orang yang menjadi santri dan belajar dengan K.H. Ruhiat secara langsung. Tak lama kemudian beliau mendirikan Sekolah Agama (Madrasah Diniyah) untuk membina anak-anak usia muda, disusul pendirian Kader Muballigh wal Musyawirin sebagai medium pelatihan dakwah dan musyawarah bagi santri-santri yang sudah dewasa. Di tengah keterbatasan dan berulang kali keluar masuk penjara karena melawan pemerintah kolonial, KH Ruhiat tetap konsisten memperjuangkan pendidikan di pesantren yang ia pimpin. 

Menariknya, KH Ruhiat juga memberikan porsi yang besar bagi kemajuan pendidikan santri putri. Terbukti dari pendirian Kursus Mubalighoh bagi santri putri. Sesuatu yang sangat progresif untuk masa-masa penjahan ketika itu. Kursus Mubalighoh menjadi wahana pelatihan dakwah bagi santri putri dan arena kaderisasi penceramah perempuan. KH Ruhiat sepertinya menyadari bahwa perempuan-perempuan cerdas merupakan aset penting bagi masyarakat. Karena dari rahim perempuan cerdaslah anak-anak bangsa lahir. 

Pasca kemerdekaan Indonesia menjadi momen pertumbuhan lembaga pendidikan formal di bawah naungan Ponpes Cipasung. Perlahan tapi pasti lembaga-lembaga pendidikan formal didirikan. Mulai dari unit pendidikan terendah yaitu Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi didirikan oleh Ponpes Cipasung. Lembaga-lembaga tersebut didirikan untuk mengakomodir perubahan zaman. Tak hanya diberikan pemahaman yang mumpuni tentang keagamaan, santri pun mesti dibekali kecapakan-kecakapan hidup teknis melalui pendidikan dan pelatihan. Modal dasar pendidikan ini menjadi pegangan bagi para santri untuk mengabdi di masyarakat.

Jika melihat rentang sejarah, pendidikan formal di Ponpes Cipasung sudah mulai didirikan lima tahun pasca kemerdekaan Indonesia. Tahun 1950 didirikan Sekolah Pendidikan Islam (SPI) yang kemudian pada tahun 1953 berubah menjadi Sekolah Menengah Islam Pertama, tahun 1954 didirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) yang kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB) dan kemudian berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan tahun 1959 didirikan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI). Sekolah Persiapan IAIN (SP IAIN) Sunan Gunung Djati cabang Cipasung yang kemudian pada tahun 1978 diubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung.

Tak hanya mengakomodir pendidikan dasar dan menengah, Ponpes Cipasung pun menginisiasi pendidikan tinggi. Sejak tahun 1965 didirikan Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam Cipasung (PTI Cipasung), tahun 1982 juga didirikan Fakultas Syariah. Kedua Fakultas tersebut menjadi cikal bakal berdirinya Institut Agama Islam Cipasung (IAIC). Pada tahun 1992 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Cipasung melengkapi jenjang pendidikan dasar di Ponpes Cipasung. 

Kemudian, tak hanya bergerak pada pendidikan tinggi bidang keagamaan, pada tahun 1997 didirikan Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung (STTC), pada tahun 1999 didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Cipasung, pada tahun 2000 dibuka Program Pasca Sarjana UII Jogyakarta kelas khusus Cipasung.

Pendidikan anak usia dini juga menjadi salah satu prioritas penting sehingga membuat Ponpes Cipasung mendirikan TK Islam Cipasung pada tahun 2003. Pada tahun 2009 didirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Islam Cipasung dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan KH Ilyas Ruhiat.  

Perjalanan sejarah Pondok Pesantren Cipasung dalam memperjuangkan pendidikan anak bangsa secara detil dapat dibaca di website resmi Ponpes Cipasung (www.ponpescipasung.com). Dalam rentang waktu tersebut Ponpes Cipasung sudah mendirikan beragam institusi pendidikan di bawah naungan pesantren. Upaya tersebut merupakan bagian penting bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Mendidik anak bangsa melalui pendidikan di pesantren. 

Keteladanan

Keteladanan KH Ruhiat dan KH Ilyas Ruhiat menjadi kunci bagi keberlanjutan perjuangan pendidikan Islam di Jawa Barat. Bagaimana pendidikan Islam dapat bersinergi dengan baik dengan pendidikan modern. Proses pendidikan yang tak menjadikan lulusan pesantren menjadi gemar menebar kebencian terhadap yang berbeda paham. Kedua ulama tersebut mencontohkan dengan baik bagaimana umat Islam dapat berkontribusi secara optimal bagi negeri ini. Para santri yang ditempa di pesantren setelah lulus akan berbaur dengan masyarakat serta aktif terlibat dalam proses pembangunan bangsa. 

Ponpes Cipasung sudah memberi teladan bagaimana seorang santri dapat menjadi sosok yang menghadirkan kedamaian dan keteduhan.  Contoh yang secara nyata diberikan oleh para ulama dan ustadz/ustadzah di Pesantren Cipasung. Mereka memberikan teladan melalui laku harian dan aktivitas nyata yang bermanfaat bagi bangsa. Perjuangan KH Ruhiat dalam membangun Ponpes Cipasung dilanjutkan oleh putra-putri dan cucunya. 

Sosok KH Ilyas Ruhiat mengutip catatan Iip D. Yahya, penulis Buku Ajengan Santun, Biografi KH Ilyas Ruhiat, sebagai seorang pejuang sederhana. Bukan orator handal yang membakar massa di podium, bukan penulis piawai yang merangkai kata-kata. KH Ilyas menurut Iip merupakan guru yang ingin agar murid-muridnya mudah menangkap yang diajarkannya. Beliau adalah pengamal tasawuf, yang sanggup untuk tidak berburuk sangka kepada orang lain dan selalu mampu mengendalikan emosi.

Contoh nyata lainnya dapat dilihat dari perjuangan putra-putri dari KH Ilyas Ruhiat dalam menebar kebermanfaatan bagi sesama. Putra pertamanya, Acep Zamzam Noor, merupakan seniman yang banyak menghasilkan karya. Putri kedua, Ida Nurhalida dikenal sebagai seorang pendidik dan sosok pejuang kesetaraan perempuan. Sedangkan putri ketiganya, Enung Nursaidah menjadi salah satu tokoh inspirasi yang tercatat pada buku “Dari Inspirasi Menjadi Harapan, Perempuan Muslim Indonesia dan Kontribusinya Kepada Islam yang Pluralis dan Damai” diterbitkan oleh LBH APIK. 

Menebar kebermanfaatan bagi sesama merupakan cita-cita bagi setiap santri yang mengenyam pendidikan di pesantren. Kekhawatiran bagi santri adalah ketika ilmu yang didapatnya tidak dapat diaplikasikan dalam keseharian, tidak bermanfaat bagi masyarakat. 

Berdirinya beragam institusi pendidikan formal dan informal dibawah naungan pesantren merupakan salah satu tujuan agar penyebaran kebermanfaatan dapat dirasakan dalam daya jelajah yang lebih jauh. Alumni Ponpes Cipasung tak hanya menjadi ulama atau kyai, tetapi juga menjangkau profesi lain seperti politisi, birokrat, pengusaha, pendidik, seniman, wartawan dan bidang pekerjaan lainnya.

Pengabdian pesantren bagi komunitas masyarakat memang penting. Pesantren menjadi mercusuar yang memberikan wajah islam yang rahmatan lil alamin.  Perjuangan K.H. Ruhiat menjadikan Ponpes Cipasung mendidik umat merupakan ikhtiar berharga bagi bangsa. Sebagai kontribusi besar tak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk bangsa. Perjuangan besar yang harus dilanjutkan oleh para santrinya. 

Sebagai penutup, karya puitis dari Acep Zamzam Noor dapat menjadi renungan, hari esok adalah perjalananku sebagai petani, membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat. Maka, sebagai santri, kita harus terus berjuang, membuka ladang kebajikan, menebar kebermanfaatan, bekerja nyata untuk negeri tercinta.***
 
Penulis adalah Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, pernah nyantri di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat.


Terkait