Opini

Awalnya Sulit, Berikutnya Mudah

Jumat, 30 Juni 2017 | 09:01 WIB

Oleh Muhammad Ishom

Sebuah keputusan yang barangkali sulit dipahami ketika tiba-tiba aku memutuskan untuk berbuka puasa tepat pada pukul 16.30. Mestinya aku baru berbuka puasa sore itu kira-kira satu jam kemudian, atau sekitar pukul 17.40-an.

Saat itu, memang dihadapanku sudah tersaji aneka makanan dan minuman di sebuah resto di Solo untuk acara reunian. Semua temenku sudah mulai menikmati hidangan yang sudah tersaji di hadapan masing-masing.

"Ayo diminum", kata temen di sebelahku kiriku.

"Ayo dimakan", kata temen di sebelah kananku.

Ajakan seperti itu terus saja mengalir dari temen-temenku hingga aku merasa terasing dalam keadaan seperti itu di tengah-tengah mereka. 

"Maaf, aku lagi puasa Syawal", jawabku setiap kali merespon ajakan makan dan minum. Lama-lama aku merasa tak nyaman dengan jawabanku seperti itu. Aku mulai merasa dihinggapi perasaan sombong di hadapan temen-temenku sendiri yang sudah sekian lama berpisah karena kesibukan masing-masing.

Situasi itu menghadapkan aku pada keputusan apakah akan memenangkan hubunganku pribadi dengan Tuhan; ataukah memenangkan hubungan sosial dengan teman-teman dekatku?

Namun, aku sadar betul puasa Syawal tidaklah wajib dan sudah pasti bisa diganti pada hari-hari berikutnya. Justru karena itu, dengan berbekal pada keyakinan bahwa Allah Maha Pemurah dan Penyayang, maka aku berpikir tidak semestinya aku mempersulit diri dengan tetap berpuasa.

Sejurus kemudian, aku mulai menasehati diriku sendiri untuk membatalkan puasa. Tepat pukul 16.30 aku betul-betul membatalkan puasa demi menghormati temen-temenku yang datang dari jauh-jauh, seperti Jakarta dan Surabaya; bahkan ada juga yang datang dari Australia. Aku sendiri asli Solo dan tinggal di kota ini sehingga bisa dikatakan aku seperti tuan rumah.

Menurutku, keputusan itu sesuai dengan ajaran sosial agama bahwa kita harus menghormat tamu. Ini artinya aku tetap memenangkan dan mengutamakan urusanku dengan Tuhan walaupun kelihatannya aku memenangkan urusanku dengan sesama manusia. Aku ingat betul segala sesuatu bergantung pada niatnya.

"Bukankah masih banyak waktu untuk mengganti puasa Syawal hari ini saja? tanyaku pada diriku sendiri ketika memulai buka prematur di hari keempat Syawal tahun 1433 H atau 5 tahun silam itu.

Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta


Terkait