Opini

Arab Saudi, Perempuan dan Revolusi Kebudayaan

Rabu, 2 Mei 2018 | 14:00 WIB

Arab Saudi, Perempuan dan Revolusi Kebudayaan

Foto via Reuters

Oleh: Rohmatul Izad

Tidak mudah untuk melakukan perubahan-perubahan yang signifikan di Saudi. Kita bisa melihat bagaimana kebijakan politik pemerintah selalu searah dengan doktrin-doktrin agama bahkan ketika itu hanya soal kebudayaan semata. Akibatnya, banyak kebijakan praktis tidak ramah terhadap perempuan. Sebut saja soal larangan menyetir mobil, menonton sepak bola di stadion, kewajiban cadar dan masih banyak lainnya.

Arab Saudi adalah negara di mana ajaran Islam diterapkan begitu ketat. Jika melanggar ketentuan agama maka polisi syari'at tidak akan segan-segan untuk menindaknya. Kita mungkin tak dapat membayangkan hidup di tengah masyarakat tanpa hiburan, tanpa fantasi dan begitu ketat menjalankan prinsip keagamaan dalam koridor konstitusi dan hukum Islam secara luas.

Tapi demikian, kepala sama berambut, tak ada satu pandangan yang benar-benar bulat bahkan soal aturan agama sekalipun. Di Saudi, kultur Islam memang sangat terjaga dengan ketat. Hal ini sudah menjadi satu nafas dan satu jiwa dengan ajaran Islam secara normatif. Tidak heran jika di negara ini sangat penuh dengan ulama-ulama konservatif bahkan mayoritas dari mereka memiliki keyakinan yang teguh terhadap agamanya. Ini sangat baik selama mereka dapat hidup dengan harmonis dan rukun antar sesama.

Meskipun, tidaklah mudah menerima begitu saja aturan-aturan baku yang benar-benar harus ditaati secara lahir dan batin. Sebut saja bagi kalangan perempuan, dalam banyak hal mereka sangat dirugikan, mungkin juga tertekan. Misalnya, larangan perempuan menyetir mobil ternyata sangat berdampak pada ekonomi di mana setiap kepala rumah tangga diharuskan untuk menyewa sopir yang kebanyakan dari luar negeri sekedar untuk mengantar istri dan anak-anaknya keluar rumah baik untuk belanja atau sekolah. Jika perempuan dapat bebas menyetir maka tak perlu merogoh kocek bulanan untuk menggaji sopir itu.

Minimnya akses perempuan di ruang publik membuat mereka sering bepergian ke luar negeri sekedar ingin mencari tempat hiburan. Biasanya mereka pergi ke negara-negara teluk, bahkan jika bepergian itu hanya sekedar untuk menonton di bioskop. Sebab, tak ada bioskop di Arab Saudi dan tempat-tempat hiburan sangatlah terbatas. Dalam beberapa dekade terakhir, Arab Saudi memiliki lklim keagamaan dan kebudayaan yang sangat ketat dan hukum Islam benar-benar tidak boleh dilanggar.

Lain dulu lain sekarang, ketat dulu baru menjadi longgar. Pantun ini meskipun agak kaku dan tidak terlalu puitis, tampaknya cocok untuk menggambarkan Arab Saudi dalam beberapa bulan terakhir. Bagaimana tidak, Saudi sejauh ini telah banyak membuat perubahan-perubahan besar di ranah politik dan kebudayaan. Perubahan itu antara lain, membolehkan perempuan menyetir mobil, cadar yang tak lagi diwajibkan, bahkan perempuan-perempuan Saudi dapat bebas menonton sepak bola secara langsung di stadion. Tidak hanya itu, pemerintah Saudi juga telah mengembangkan sejumlah tempat-tempat hiburan lainnya, termasuk wisata pantai, elok bukan?

Perubahan-perubahan besar ini tak lain hasil dari jerih payah Putra Mahkota Pangeran Muhammad dalam meyakinkan sang ayahanda Raja Salman untuk melakukan terobosan-terobosan baru di ranah kebudayaan dan sebuah usaha untuk menampilkan Islam secara ramah dan moderat.

Tak mudah melakukan perubahan itu, sebab Saudi sudah sangat mapan dalam mengembangkan dan memelihara iklim Islam yang eksklusif dan sangat tertutup terhadap firqah-firqah Islam lainnya. Wahabi yang selama ini menjadi ideologi resmi negara, tampaknya menjadi kekuatan utama dalam memobilisasi massa dan menyatukan persepsi seluruh warga Saudi.

Perubahan yang begitu besar dan mencengangkan ini tak lepas juga dari sebuah peluncuran Visi 2030 untuk kemajuan Arab Saudi di masa mendatang. Di tengah-tengah itu Sang Putra Mahkota sangat gencar dalam melakukan proyeksi perubahan hingga pada akar rumpun, sampai-sampai banyak ulama konservatif dan kolot mengalami dampak buruk akibat kebijakan itu.

Sekarang tak sulit menemukan pagelaran pertandingan gulat gaya bebas dunia ala Barat (Smack Down) yang beberapa waktu lalu diselenggarakan di Stadion King Abdullah Sport City Jeddah. Dulu pagelaran semacam ini tak pernah diizinkan. Warga Saudi hanya bisa menonton melalui saluran televisi. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya 18 April 2018, Arab Saudi juga meluncurkan bioskop komersial pertama. Pemutaran perdana film “Black Panther” produksi Hollywood ini juga sekaligus mengakhiri larangan pendirian bioskop komersil selama 35 tahun terakhir. Tentunya kaum adam dan hawa dapat bebas menonton secara bersama-sama, menarik bukan?

Di tangan Sang Pangeran Muhammad bin Salman, perubahan di Saudi terasa semakin menggeliat. Dua tahun yang lalu, kita bahkan tak akan pernah membayangkan bagaimana Arab Saudi yang dipimpin oleh Raja Salman bergelar Khadimu al-Haramain ini dapat melakukan pagelaran Smack Down untuk umum, konser musik dan acara hiburan lainnya. Paling tidak, perubahan yang signifikan ini sangat penting bagi kebebasan dan ruang gerak perempuan di muka umum.

Tak hanya itu, Pangeran Muhammad bin Salman juga mencanangkan perubahan yang menyeluruh terkait kehidupan warga Saudi, khususnya di bidang ekonomi. Misalnya, keinginan Putra Mahkota agar negaranya dapat mengurangi ketergantungan pada sektor perminyakan. Sejauh ini, hampir 80 persen pendapatan negara diperoleh dari "emas hitam" ini. Hal ini berakibat pada ketika harga minyak dunia turun drastis, kondisi perekonomian Saudi menjadi bergoyang dan ikut mengalami penurunan.

Adanya Visi 2030 juga meliputi pengembangan pada sektor jasa layanan umum, infrastruktur, pendidikan, kesehatan pariwisata dan lain sebagainya. Tentunya proyek pemberantasan korupsi juga tak lepas dari visi masa depan itu. Sebab kasus korupsi ternyata sangat merajalela dan begitu menggurita di Arab Saudi, mirip sebagaimana terjadi di negeri ini.

Bukan sesuatu yang mudah untuk mencapai Visi 2030. Ada semacam dinding tembal yang menghadang, dinding keagamaan yang diisi oleh begitu banyak ulama-ulama Wahabi yang terkenal sangat konservatif dan kolot. Tercatat, sampai dikeluarkannya kebijakan pencabutan wajib cadar dan kebolehan perempuan menyetir mobil, masih banyak ulama Saudi yang menentang keras. Bagi mereka, perempuan sampai kapanpun akan tetap menjadi warga kelas kedua akibat begitu kuatnya tradisi patriarkhi tersebut.

Tidak takut akan bahaya menghadang khususnya dari kalangan konservatif, proyek reformasi besar-besaran tetap terus dilakukan. Hal ini sudah mengarah pada hal-hal yang sangat positif. Paling tidak, perubahan besar ini dapat membuka jalan baru bagi sikap keterbukaan dalam beragama, mengedepankan moderasi, dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Perubahan yang besar di ranah agama dan kebudayaan juga akan berdampak baik pada hubungan Arab Saudi dengan negara Timur Tengah lainnya, bahkan dengan negara-negara berpenduduk muslim di seluruh dunia, termasuk umat Islam yang tinggal di negara barat.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.


Terkait