Opini

Antara Puasa dan Siasat Politik

Kamis, 9 Agustus 2012 | 10:28 WIB

Oleh Moh Safrudin

 

Biasanya orang sering membandingkan antara berpusa dan siasat berpolitik tentu sangat beda. Berpuasa adalah dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa sedangkan berpolitik adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Gangguan paling besar terhadap keberhasilan puasa terletak pada dirinya sendiri. Seseorang yang tidak berhasil mengendalikan hawa nafsu, maka puasanya akan gagal atau  sia-sia. Itulah sebabnya, pelaksanaan puasa tidak perlu ada pengawasan dari orang lain. Seseorang sedang berpuasa atau tidak, yang paling tahu, adalah yang bersangkutan sendiri. 
<>
Berbeda dengan berpuasa adalah berpolitik. Dalam berpolitik lawan atau kompetitornya adalah orang lain. Agar menang, maka seorang politikus harus menggunakan strategi, taktik dan siasat.Taktik dan semacamnya itu semua tidak boleh diketahui oleh lawan atau kompetitornya. Pemain politik tidak boleh lugu dan bermain apa adanya. Jika itu dilakukan, maka pasti kalah. Oleh karena itu, maka politikus pasti menggunakan kecerdikatannya. Berbeda hal itu dengan berpuasa.Ibadah puasa harus selalu dijalani dengan kejujuran. 

Apakah berpolitik tidak seharusnya dilakukan dengan jujur sebagaimana berpuasa itu. Jawabannya memang seharusnya demikian itu. Rakyat selalu menuntut agar siapapun jujur dalam berpolitik. Hanya sayangnya, berpolitik itu mirip dengan sebuah permainan. Dalam bermain selalu ada yang kalah dan sebaliknya, ada yang menang. Dalam setiap permainan, pihak-pihak yang terlibat menghendaki meraih kemenangan. Maka tidak jarang, dalam proses-proses permainan itu, mereka  melakukan tindakan yang kurang sportif. Akibatnya, ketidak jujuran akan terjadi. Berpolitik sebenarnya sama dengan melakukan permainan. Berpolitik juga selalu diwarnai oleh ketidak-jujuran itu. Jarang sekali ada politik jujur. Oleh karena itu, dalam berpolitik diperlukan pengawas, dan bahkan juga pihak-pihak yang menjaga agar proses itu berjalan jujur dan adil.

Siapapun akan mengalami kesulitan mencari permainan politik yang jujur dan adil, kecuali politik yang dijalankan oleh Rasulullah. Politik yang dijalankan pada zaman Rasulullah sama dengan berpuasa. Rasulullah dalam berpolitik, sekali saja tidak pernah bohong. Semua pihak diperlakukan secara adil sekalipun terhadap orang-orang yang beragama Nasrani maupun Yahudi. Rasulullah dalam membangun masyarakat di Madinah membuat piagam perjanjian, yang dikenal dengan piagam Madinah. Pada saat itu, siapapun tidak pernah merasa diingkari atau diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah. Bahkan, untuk menjaga rasa keadilan, tatkala membagi sesuatu, maka mereka yang membagi harus mengambil bagian terakhir. Cara itu, jelas akan mendatangkan rasa keadilan secara sempurna. 

Oleh karena itu, sebenarnya berpolitik pun bisa ditempuh dengan cara yang jujur seperti itu. Hanya saja syaratnya, perspektif menang atau kalah dari mereka yang terlibat dalam politik dimaksud harus disamakan dengan berpuasa. Kemenangan dalam berpuasa diraih oleh seseorang manakala yang bersangkutan mendapatkan derajad taqwa, yaitu menjadi manusia yang berderajad mulia di hadapan Allah. Berpolitik juga seharusnya demikian itu. Kemenangan tidak lagi diraih oleh di antara mereka yang terlibat dalam permainan itu, melainkan oleh semua pihak secara adil. Semua pemain politik seharusnya merasa memperoleh kemenangan. Manakala lewat berpolitik itu semua pihak mendapatkan keuntungan, yaitu  tidak ada yang kalah dan yang menang, apalagi hanya ingin menjadi umat terbaik, maka kejujuran itu akan tercipta. 

Berpolitik semestinya harus dilihat sebagaimana membangun rumah tangga dalam sebuah keluarga. Dalam keluarga itu, suami, isteri, anak-anak dan bahkan para pembantu memiliki kepentingan yang sama, yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Kemenangan keluarga, manakala tujuan bersama itu tercapai. Kemenangan bagi keluarga bukan diraih tatkala pihak-pihak tertentu mengalahkan lainnya. Sebaliknya, disebut menang manakala semua pihak mendapatkan kebahagiaan. Sebab di dalam keluarga itu, manakala ada anggota yang  sakit, maka penderitaan itu akan dirasakan oleh semua. Andaikan misalnya, seorang anak dalam keluarga itu jatuh sakit, maka orang tuanya harus mengirim ke rumah sakit, dan bahkan harus mencarikan biaya yang diperlukannya. Akibatnya, semua anggota keluarga menjadi merasa sakit. 

Manakala bangsa ini dipandang sebagai semacam rumah besar, yang dihuni oleh keluarga besar, yaitu bangsa Indonesia secara keseluruhan tanpa terkecuali, maka kesejahteraan dan keadilan itu akan berhasil diwujudkan. Sebaliknya, apabila yang terjadi adalah seperti sekarang ini, yaitu  dijadikan gelanggang kompetisi, berebut, dan bahkan konflik di antara berbagai pihak yang berkepentingan, maka rasanya kesejahteraan dan kedilan itu hanya ada pada dunia mimpi. Bahkan yang akan terjadi adalah justru sebaliknya, yaitu lama kelamaan tidak mustahil, bangunan kebangsaan ini menjadi  sobek hingga  tidak mudah ditenun atau dirajut kembali. 

Namun pertanyaannya adalah, apakah mungkin konsep ideal itu terjadi dan bisa diwujudkan. Jawabnya, tidak sulit. Contoh sudah ada, ialah pemerintahan yang dibangun oleh Rasulullah. Pada saat itu, masyarakatnya juga majemuk, selain mereka yang beragama Islam juga terdapat kaum Nasrani dan Yahudi. Mereka diajak bersama-sama, tanpa kecuali, membangun masyarakat Madinah yang diwarnai oleh suasana kejujuran, keadilan hingga akhirnya melahirkan masyarakat yang beradab, ialah masyarakat Madani. Kuncinya adalah, bahwa antara berpuasa dan berpolitik harus diidentikkan, kedua-duanya harus diorientasikan sebagai bagian dari beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan harus dilakukan secara ikhlas dan sejujur-jujurnya. Wallahu a’lam.

* Ketua Bidang Keagamaan DPD KNPI Sultra dan Peneliti Sangia institute


Terkait