Opini

Al-Qur'an, antara Penyimpangan dan Fungsi

Senin, 16 Mei 2016 | 01:00 WIB

Al-Qur'an, antara Penyimpangan dan Fungsi

Ilustrasi

Oleh Anwar Kurniawan
Kelesetarian Al-Qur’an, sejak diturunkan 23 abad lalu secara gradual, nyata masih eksis hingga kini. Al-Qur’an, secara sederhana merupakan respon Tuhan terhadap berbagai persoalan dan diyakini adaptif-solutif terhadap segala persoalan umat manusia.

Lebih jauh, ragam persepsi masyarakat, baik generasi Islam awal maupun setelahnya dalam menyikapi rangkaian firman Tuhan yang termanifestasikan dalam kitab suci umat Islam ini juga menarik untuk diperhatikan.

Secara umum, tujuan orang membaca Al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok besar (Ahmad Rafiq: 2006). Pertama, membaca Al-Qur’an sebagai ibadah. Tujuan ini berhubungan dengan ajaran yang selama ini dipegangi kaum muslimin bahwa "membacanya adalah ibadah". Sehingga, hal itu mendorong kaum muslimin untuk membacanya sebanyak mungkin, terlepas dari ada tidaknya pemahaman terhadap teks yang sedang dibaca.  

Kedua, membaca Al-Qur’an untuk mencari petunjuk. Untuk tujuan ini, seorang muslim atau bahkan non-muslim yang pengkaji Al-Qur’an, akan membaca sebagian atau keseluruhan. Pembacaan tersebut ditujukan supaya mendapatkan petunjuk tertentu dari Al-Qur’an. Petunjuk yang dimaksud bisa berupa kejelasan makna yang dimaksudkan lafaz Al-Qur’an atau isyarat-isyarat tertentu yang dapat ditangkap dari susunan lafaz Al-Qur’an.
Apapun bentuk petunjuk di sini, ia bisa diterima secara positif, dalam pengertian untuk menguatkan keyakinan si pembaca akan kebesaran Al-Qur’an dan pesan-pesan yang dibawanya. Hal ini lazim dijalani oleh pembaca muslim. 

Sementara, petunjuk tersebut bisa pula diterima secara netral, sebatas untuk memuaskan rasa keingintahuan si pembaca, di mana hal ini biasa dilakoni oleh para pengkaji Al-Qur’an,  baik Muslim ataupun tidak. Tetapi, petunjuk di sini bisa pula menjadi paradoks. Artinya ia dicari dan diterima untuk menegasikan atau melemahkan kebenaran Al-Qur’an atau bahkan Islam. Hal inilah yang sering terdapat pada karya-karya Orientalis. 

Ketiga, membaca Al-Qur’an sebagai alat justifikasi. Dalam hal ini pembaca menggunakan—bagian tertentu dari— Al-Qur’an untuk mendukung pikiran ataupun keadaannya pada saat tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai kepentingan tertentu baik yang bersifat personal maupun kolektif. Secara sederhana, poin ketiga tersebut dapat ditemukan misalnya, pada kelompok-kelompok teologi ataupun politik dalam sejarah Islam yang saling berhubungan erat.

Di masa kekhalifahan Usman dan Ali, para pendukung Ali mulai menyuarakan ketinggian posisi Ali dan keturunannya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan Syiah. Dalam menyuarakan dukungannya, mereka mengutip sejumlah ayat-ayat tertentu.

Tak mau kalah dengan Syiah, kelompok khawarij juga turut mewarnai panggung sejarah, yang mengisyaratkan perang terhadap Muslim di luar sektenya. Lebih-lebih, terkadang ayat yang mereka kutip adalah sama, namun dipahami secara berbeda, atau bahkan bertolak belakang.

Demikian pula, pada masa Dinasti Umayyah yang mengutip beberapa bagian ayat Al-Qur’an, guna memproklamirkan eksistensi kekhalifahannya sebagai takdir Tuhan sebagai perlawanan terhadap kelompok oposisi yang tidak sepakat dengan kekhalifahannya. Hal ini kemudian menandai lahirnya faham fatalism (jabariyah) dalam Islam. 

Pembacaan Atomistik 
Jika ditilik melalui kacamata penafsiran, sekilas terdapat sebuah "penyimpangan" dari pesan menyeluruh Al-Qur’an atas cara baca terhadap kitab suci yang seperti itu. Penyimpangan, atau cara baca seperti itulah yang kemudian dinamakan sebagai "pembacaan yang atomistik" terhadap Al-Qur’an, kendati belum ada definisi yang tegas tentang cara baca seperti itu (Ahmad Rafiq: 2006). Apapun tujuan orang dalam membaca Al-Qur’an berpotensi untuk masuk ke dalam cara baca ini.  

Secara historis, cara baca ini, sebagian besarnya, lahir dari kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok. Kepentingan tersebut, tentu saja akan berubah dan berbeda seiring perubahan waktu dan tempat. 

Sementara secara teoritis, pembacaan yang atomistik terhadap Al-Qur’an ini telah melupakan dua elemen inheren dalam penafsiran Al-Qur’an, yakni konteks dan hubungan internal Al-Qur’an. 

Pada masa turunnya Al-Qur’an, para sahabat akan menanyakan kepada Nabi tentang pengertian setiap ayat yang diturunkan. Sementara itu, Nabi terkadang menunda jawabannya untuk menunggu turunnya ayat yang baru sebagai penjelasan atas pertanyaan tersebut. 

Usaha para sahabat untuk melakukan penelusuran makna ayat dengan keadaan yang mereka hadapi itu membentuk konteks eksternal ayat, sementara tanggapan Nabi terhadap usaha tersebut dengan menggunakan ayat lain menunjukkan hubungan internal ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Kedua bagian ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk memahami Al-Qur’an secara utuh.  

Kendati demikian, penyimpangan tersebut secara faktual masih eksis hingga kini. Seorang pemikir kontemporer, Farid Esack, menggambarkan suasana masa kecilnya di Afrika. Orang-orang memperlakukan Al-Qur’an dengan sangat luar biasa. 

Sebagian besar waktunya, di Madrasah, kata Esack, setiap hari dihabiskan untuk membaca Al-Qur’an. Selama di perjalanan berangkat dan pulang sekolah, mereka harus mengusung Al-Qur’an di atas kepala, dan di rumah harus diletakkan di tempat yang bersih dan terhormat.  

Bagi Esack, semua itu melambangkan sebuah upaya apresiasi yang luar biasa terhadap Al-Qur’an, baik sebagai kitab suci, atau sekedar naskah. Apresiasi itu juga diungkapkan dengan cara berbeda sampai saat ini. Orang-orang membacakan potongan-potongan tertentu ayat Al-Qur’an, tanpa perlu memahami maknanya, untuk melindungi diri dari sesuatu yang dianggap berbahaya. 

Esack juga menemukan fenomena di Dubai, di mana ayat-ayat atau surah tertentu sering ditemukan tergantung di dinding dengan alasan yang bermacam-macam: untuk menjaga dari pencurian, sakit, keuntungan dalam usaha, atau bahkan untuk mendatangkan "cahaya" ke dalam rumah. Di Indonesia, pola serupa, dengan cara yang berbeda juga sering kita jumpai. 

Fenomena di atas, baik berupa "penyimpangan" maupun fungsi, akan selalu eksis selama Al-Qur’an masih ada dan kehidupan manusia dengan berbagai kebutuhannya terus berjalan. Menghadapi hal tersebut, maka menjadi tanggung jawab umat Islam secara umum, dan sarjana Muslim khususnya untuk meluruskan penyimpangan yang ada, dengan tanpa menghilangkan fungsi positifnya. 

Penulis adalah Kepala Litbang Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Se-Indonesia (FKMTHI), Santri Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta.


Terkait