Oleh Fajar Maulana Muhammad
--Orang yang ketika di pesantren pernah mencuri sebuah jarum, maka besok di luar ia memiliki potensi untuk mencuri seekor sapi, kata Hj. Ainun Hakiemah, kepala Madrasah Aliyah Sunan Pandanaran, Sleman Yogyakarta.<>
Pernyataan di atas sangat relevan dengan penanaman pendidikan karakter di pesantren. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan nonformal dan tertua yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak ulama-ulama besar telah dicetak dari pondasi sebuah pesantren.
Di era modern ini, sudah banyak pesantren-pesantren yang mem”barengi” sistem pendidikannya dengan pendidikan formal, seperti Madrasah Ibtida’iyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan bahkan Perguruan Tinggi (PT). Salah satu faktor yang melatarbelakangi dibentuknya sistem pendidikan formal di pesantren adalah karena tuntutan zaman yang menstandarkan ijazah formal untuk mendapatkan ketentraman dan kenyamanan hidup duniawi, seperti halnya dalam mencari pekerjaan.
Keputusan membuka sekolah formal akan berpengaruh pada antusiasme masyarakat umum terhadap pesantren. Masyarakat akan lebih tertarik pada pesantren, karena pesantren kini menyuguhkan pendidikan three in one, selain ilmu-ilmu umum, juga ilmu agama dan penanaman akhlaqul karimah, konsekuensinya banyak santri yang belajar di pesantren karena dorongan atau paksaan dari orang tuanya sehingga menjadikan mereka merasa terbebani untuk belajar di pesantren. Terlebih untuk pesantren-pesantren yang menggunakan sistem “penjara”.
Hal ini di sisi lain akan menyebabkan terkikisnya sebagian nilai-nilai akhlak yang ada di pesntren. Sebagai contoh, dalam hal kepemilikan suatu barang (milkiyyah). Pelanggaran milkiyyah yang sering terjadi di pesantren adalah ghosob (meminjam barang orang lain tanpa seizin pemiliknya) perilaku ini dalam jangka panjang akan berkembang menjadi pencurian. Inilah yang akan mengurangi kualitas ulama-ulama di masa sekarang, mereka dalam hal keilmuan mahir, namun kurang dalam hal barokah.
Calon-calon santri yang akan belajar di pesantren umumnya akan merasa takut untuk melakukan perbuatan di atas (ghosob), karena mereka merasa bahwa pesantren adalah cerminan pendidikan islam yang sangat memperhatikan masalah akhlak.
Dalam kitab Alaalaa, dikatakan bahwa watak seseorang itu dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengannya. Tanpa disadari, sebenarnya budaya ghosob ini diajarkan oleh santri-santri ini sendiri secara tidak langsung, secara turun-temurun.
Sebagai ilustrasi, misalnya seorang santri A yang baru pulang dari masjid yang mendapati sandalnya hilang terghosob oleh santri X, maka pikirannya akan langsung memberlakukan hukum qishash (hukuman setimpal terhadap suatu kejahatan), ia akan memakai satu pasang sandal yang ada di depannya, ketika santri B pulang dan mendapati sandalnya hilang terghosob oleh santri A, sedangkan ia tidak tahu, maka ia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan santri A, sama halnya dengan santri C, sanri D, santri E, begitu seterusnya.
Pihak pesantren sebenarnya menyadari akan hal ini, namun kurangnya tenaga kepengurusan yang tidak sebanding dengan kuantitas santri, serta kurangnya kesadaran santri akan pentingnya milkiyyah ini, menyebabkan masalah ini sulit diatasi.
Negara Indonesia memandang kaum santri sebagai pewaris pemimpin-pemimpin yang jujur, adil dan anti korupsi. Lalu bagaimana jika santri-santri sendiri saja tidak peduli akan masalah milkiyyah ini. Dalam konteks ini diperlukan kecerdasan setiap pesantren agar hal ini dapat teratasi agar tidak menghapus generasi-generasi penerus bangsa yang jujur, adil, dan anti korupsi dari tanah air Indonesia tercinta. Lebih dari itu, pesantren telah memberikan banyak kontribusi positif bagi perkembangan karakter masyarakat Indonesia dari masa ke masa.
Fajar Maulana Muhammad, mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran, Yogyakarta