Menapaki usianya yang ke-82, Nahdlatul Ulama’ tentu saja semakin memasuki tahap “pematangan”, baik secara jama’ah maupun jam’iyah. Turut berkiprah, serta mewarnai sejarah Republik ini selama hampir satu abad, seharusnya memberi NU pengalaman yang memadai dalam mencari bentuknya yang ideal. Sejarah mencatat, NU selalu terlibat sebagai aktor yang diperhitungkan dalam setiap fase perubahan konstalasi Nasional. NU pernah menjalani masa-masa sebagai partai politik, hingga akhirnya kembali ke “khittah”, bahkan secara tidak langsung NU mampu mengantarkan salah satu kader terbaiknya menjadi orang nomor satu di negeri ini, Abdurrahman Wahid.
Namun ironi, hari ini NU seperti kehilangan taring. Percaturan nasional seolah mengesampingkan NU sebagai jangkar perubahan. Salah satu penyebabnya adalah budaya pragmatisme politik yang menggrogoti nilai-nilai luhur politik kebangsaan yang selalu dijunjung tinggi NU. Pragmatisme memang mengikis banyak hal, independensi, kearifan sikap, solidaritas, bahkan kewibawaan NU. Karena itu, menurut hemat saya, Muktamar NU ke 32 di Makassar, harus menjadi pijakan menuju lembaran baru, menampilkan eksistensi kewibawaan organisasi ini kembali sebagai Ormas Islam terbesar di tingkat nasional bahkan dunia.<>
Oleh karena itu, Muktamar harus menjadi ajang introspeksi dan evaluasi, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Pertama, aspek pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Selama ini konsentrasi NU dalam hal ini terlihat belum maksimal. Upaya yang dilakukan masih berkutat pada kerangka pola pikir instrumentalistik, dimana orientasinya hanya bagaimana bertahan hidup, sekedar menjadi penopang industri-industri besar. Padahal, orientasi pemberdayaan ekonomi harus ditujukan pada pengembangan berbasis kemandirian. Hal ini dapat dicapai dengan mendorong munculnya kreasi-kreasi produktif di lapisan bawah, dimana warga NU dominan tergolong pada segmen ini.
Kedua, manajemen distribusi kader. Sebagai Ormas Islam terbesar, dengan keanggotaan mencapai kurang lebih 40 juta, NU mengalami “kesulitan” dalam urusan mengelola potensi kader di berbagai disiplin pengabdian. Kader NU yang berserakan itu tentu saja dapat menjadi kekuatan potensial jika dikelola dalam satu rajutan yang sinergis. Kepengurusan NU ke depan harus melakukan upaya sungguh-sungguh untuk memungut potensi kader yang bertebaran itu dan mentransformasikannya menjadi kekuatan perubahan yang layak diperhitungkan. Termasuk kader NU di lembaga-lembaga tinggi Negara, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Perbedaan warna politik seharusnya tidak membuat kader-kader politisi NU terjebak dalam pertentangan yang tidak produktif bagi kemaslahatan umat. Perbedaan itu justru harus menjadi rahmat untuk kepentingan besar politik kebangsaan yang dikomandoi dan digariskan oleh induknya, Nahdlatul Ulama’.
Pada aspek internal, Kepengurusan NU priode mendatang harus kembali memberi perhatian lebih terhadap proses kaderisasi di tubuh NU. Hampir satu dekade terakhir ini, konsentrasi perangkat-perangkat struktural NU lebih tersedot pada dimensi politik, tepatnya politik kekuasaan. Badan-badan otonom misalnya, harus bergerak dalam kerangka kepanjangan tangan PB NU dalam menempa dan menyiapkan kader NU yang mumpuni di segmennya masing-masing. Badan otonom semestinya tidak bersebrangan (dalam beberapa hal berkonflik) dengan Pengurus Besar dalam agenda-agenda keummatan, apalagi pada pilihan-pilihan politik praktis.
Dalam konteks inilah, hubungan NU dan PMII sebagai wadah gerakan mahasiswa yang selama ini berafiliasi secara kultural, perlu direformulasikan dalam ikatan struktural-kelembagaan, sebagaimana sejarah awalnya, PMII sebagai sayap gerakan mahasiswa NU yang bernaung di bawah kelembagaan NU. Peristiwa NU menjadi partai politik yang kemudian membuat PMII memilih sikap independen. Saat ini, menurut saya, konteksnya sudah berubah. Gerakan kembali ke Khitth ‘26 memposisikan NU sebagai Ormas yang menekankan aspek sosial keagamaan sebagai wilayah garapannya. PMII perlu hadir memperkuat kelembagaan NU dalam wilayah gerakan mahasiswa, agar proses kaderisasi di tubuh NU berjalan lebih seirama dengan agenda besar NU.
Kedua, representasi keterwakilan wilayah di kepengurusan tingkat nasional. Sebagai Ormas yang memiliki kepengurusan tingkat cabang dan wilayah di seluruh nusantara, hendaknya konfigurasi di tingkat nasional merepresentasikan keragaman itu. Kepimpinan di tingkat nasional tidak hanya diidentifikasi dengan region tertentu. Akan tetapi harus memperhatikan keterwakilan semua wilayah, baik Jawa, Sulawesi, Sumatera, serta seluruh wilayah lainnya.
Ketiga, mengembalikan supremasi ulama’ dalam kelembagaan NU. Hari ini sangat terasa lemahnya kontrol ulama’ dalam pengambilan kebijakan di tubuh NU. Karena itu, bagi saya, kelembagaan Suriyah di PBNU harus diberi kewenangan yang lebih besar, dalam melakukan control dan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankan oleh eksekutif (tanfidziah).
Sampai disini, aspek yang tak kalah penting untuk menjamin agenda rekonfigurasi ini dapat berjalan dengan baik, adalah kepemimpinan yang memenuhi “syarat”. Pemimpin NU haruslah sosok yang mengerti nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) secara utuh. Aswaja baik sebagai panduan paradigm, nilai dan moral, selalu menjadi kerangka besar dalam setiap perumusan kebijakan yang akan dioperasionalkan oleh kepengurusan NU.
Pemimpin NU, mau tidak mau, harus memiliki jaringan (networking) yang luas, baik dalam maupun luar negeri. NU sebagai organisasi keagamaan terbesar, musti melakukan interaksi dengan komunitas lain. Hal ini dalam kerangka pengembangan keorganisasian, maupun dalam konteks kontestasi sosial, dimana NU sebagai organ pasti terlibat dalam sebuah kontestasi dengan kelompok lain. Disinilah, pemimpin NU dituntut memiliki skill kebahasaan yang memadai, sebagai sarana berkomunikasi dengan element yang lebih luas.
Terakhir, kemampuan managerial menjadi prasyarat yang tidak bisa dilewatkan. Mengelola dan memimpin organisasi besar seperti NU membutuhkan keterampilan managerial yang handal dan teruji. Setidaknya pemimpin NU ke depan, sosok yang sudah berpengalaman memimpin organisasi besar, baik di lingkungan NU maupun di komunitas lain. Pengalaman ini menjadi bekal dalam memahami kondisi riil NU, sehingga mengerti betul kemana kebijakan NU harus dijalankan.
Sekali lagi, Muktamar ke-32 NU di Makassar nanti, harus benar-benar dimanfaatkan sebagai titik tolak penyegaran kembali gerakan Nahdliyah. Agar manfaat strategis NU segera kembali terejawantahkan dalam segala dimensi kehidupan umat, beragama, berbangsa dan bernegara. Semoga!
*) Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)