Mataram, NU Online
Psykolog dari Tim NU Peduli, Rakimin dan Koordinator NU Peduli Lombok Anik Rifqoh mengatakan, secara umum psykologi sosial korban gempa Lombok yang di kunjungi dan observasi masih berlangsung dengan normal. Hal ini disampaikan Rakimin dan Anik kepada NU Online di Kamp pengungsian di Lombok, Selasa (28/08).
"Kasus traumatik sebelum dan sesudah gempa tidak terlalu nampak di beberapa tempat yg diassesment NU Peduli," kata Rakimin yang didampingi Anik Rifqoh tim dari PBNU ini.
Rakimin menambahkan, tentang arti penting harmonisasi hubungan sosial sebelum bencana tiba, sehingga usai gempa mereka saling melakukan interaksi sebagai sesama korban gempa tanpa membuat sekat sosial.
"Ketakutan terhadap gempa ataupun efek-efek kehilangan materi atas gempa itu ternyata intens mereka bicarakan bersama meskipun mereka semua menjadi korban sebelum psyko sosial itu muncul. Maka konten trauma healing psyko sosial yang dilakukan harus membangkitkan kesadaran inter personalnya secara baik," sambung Anik.
Psykolog muda NU ini kemudian memberikan ilustrasi bahwa korban gempa itu ibarat orang yang semrawut dan penuh masalah. Maka caranya jangan menghimpun masalah tersebut tetapi bagaimana mencairkan masalah itu, berpikiran positif terhadap Tuhan, termasuk mencari solusi bersama jika gempa itu muncul kembali," tambahnya.
Rakimin menjelaskan, dalam berbagai kasus melakukan trauma healing pada korban bencana alam akan lebih efektif jika didahului dengan bantuan kemanusiaan. "Hal ini wajar karena para korban bencana alam memiliki harapan terhadap setiap orang yg punya kepedulian terhadap nasibnya," jelasnya.
Selanjutnya Rakimin mengatakan dalam kasus korban gempa di Lombok, orang tua jauh lebih sulit proses penyembuhannya untuk therapi trauma healingnya dibanding anak-anak.
"Untuk kasus orang tua ini, tim trauma healing NU Peduli tidak menyatukan para orang tua itu untuk ditherapi tapi didatangi satu persatu. Hal ini karena orang tua memiliki ego yang kuat. Meskipun dia butuh tapi tidak mau mengungkapkan problemnya jika harus disatukan," ujar Rakimin yang memiliki pengalaman menangani psyko sosial untuk korban tsunami Aceh, gempa Pangandaran maupun gempa Jogyakarta.
Dalam konteks Gempa Lombok, lanjutnya penanganan trauma healing untuk para orang tua akan efektif dilakukan pada malam hari dan tidak dilakukan dalam kerumunan di tenda pengungsian.
"Kita biasanya mencari celah dan kesempatan ketika ada pasien dewasa tidak berkerumun di tenda, saat itulah kita ajak ngobrol dan eksplorasi uneg-unegnya melalui metode katarsis," imbuhnya.
Baginya proses penyembuhan trauma healing untuk korban bencana memerlukan waktu kurang lebih satu bulan dengan per sekali kunjungan minimal 1,5 jam.
"Untuk anak-anak model pendekatan psyko sosial trauma healingnya lebih mudah karena rata-rata anak korban gempa yang dikunjungi tidak menunjukkan gejala traumatik akut atau phobia yang berlebihan usai gempa," pungkasnya.
Sementara itu Ketua Tim NU Peduli, Baiq Mulianah menginformasikan saat ini sedang melakukan proses assesment untuk beberapa titik pengungsian yang dijadikan kawasan dampingan NU Peduli secara terpadu untuk enam bulan ke depan.
"Insyaallah NU Peduli tetap melakukan upaya pemulihan dan rehabilitasi untuk di beberapa titik korban gempa dengan metode 5 klaster yang sudah dipersiapkan," jelasnya. (Hadi/Muiz)