Jakarta, NU Online
Ketua Program Studi Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Tubagus Roni Nitibaskara mengusulkan kepada aparat negara yang bergerak di bidang terorisme untuk mempelajari ilmu ahli wajah agar para pelaku teror bisa diketahui apabila berbohong.
Ia menilai, dengan mengetahui hal itu akan memudahkan petugas dalam mengurai masalah pelaku terorisme.
“Para kejaksaan dan petugas harus mempelajari ilmu ahli baca wajah. Umumnya bisa dibaca. Tidak sepenuhnya benar. Delapan puluh lima persen lah (akurasi kebenarannya),” kata Roni saat memberikan sambutan dalam acara Seminar Dampak Media Sosial Terhadap Terorisme di Universitas Indonesia Jakarta, Kamis (3/5).
Untuk mengungkap kasus terorisme, jelas dia, setidaknya ada tujuh hal yang harus dipelajari, yaitu pelaku terorisme itu sendiri, motif yang mereka gunakan, sebab akibat, ruang lingkup, korban, reaksi sosial, dan upaya-upaya penanggulangan.
Ia juga menyatakan, setiap aksi teror memiliki motif yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, penyelamatan, balas dendam, dan kegilaan. Namun secara umum, motif terorisme adalah karena urusan politik.
“Secara umum, mottif terorisme mengandung motif politik,” tegasnya.
Sementara, Direktur Penegakan Hukum Badan Nasiona Penanggulangan Terorisme (BNPT) Toriq Triono memaparkan, saat ini ada lima puluh satu persen yang menggunakan internet dan sembilan puluh tujuh persennya adalah pengguna media sosial.
“Sembilan puluh tujuhnya adalah pengguna media sosial dan enam puluh enam persennya adalah mereka yang berusia dua puluh lima sampai empat puluh empat tahun,” jelasnya.
Maka dari itu, ia menilai, media sosial memiliki peran yang sangat signifikan di dalam masyarakat Indonesia, termasuk menjadi alat yang cukup efektif untuk melaksanakan aksi-aksi teror.
Acara tersebut menghadirkan dua narasumber, yaitu Yenny Wahid (The Wahid Foundation) dan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (Penulis Kajian Terorisme). (Muchlishon Rochmat/Fathoni)