Nasional

Takjil Gratis, Oase bagi Kegersangan Saku Mahasiswa

Selasa, 22 Mei 2018 | 21:00 WIB

Takjil Gratis, Oase bagi Kegersangan Saku Mahasiswa

Mahasiswa menikmati takjil dan makanan buka puasa gratis

Tangerang Selatan, NU Online
Menjelang senja, masjid di sekitaran kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, jadi destinasi paling menarik di mata mahasiswa. Betapa tidak, saban hari, masjid membagikan takjil gratis bagi siapa saja yang hendak berbuka. Bahkan, tidak sekadar segelas air mineral dan sebuah kurma, masjid juga menyediakan nasi bungkus lengkap dengan lauk yang menggoda selera.

Adzan asar telah lewat dua jam pada Selasa (22/5). Sekitar setengah jam lagi maghrib akan tiba. Imam Masjid Al-Ikhlas, Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangerang Selatan Ust H Asy'ari Sam'un mulai membacakan surat Yasin. Ia melantunkannya dengan pelan dan lagu yang begitu nikmat didengar.

Seratus air mineral kemasan gelas sudah berjajar rapi sebelum sang imam membaca. Jamaah datang satu persatu, duduk di hadapan gelas yang diletakkan terbalik. Beberapa jamaah mengikuti bacaan imam, melafalkan ayat-ayat dari surat Yasin. Sebagian mereka membuka mushaf sendiri dan melanjutkan bacaan pribadinya.

Jarum jam panjang telah melewati angka enam. Seratus gelas itu masih menyisakan beberapa ruang di depannya. Yasin sudah rampung dibaca, maghrib tak jua tiba. Imam melanjutkannya dengan membaca tahlil. Sebab, waktu di bulan Ramadhan tak boleh terbuang sia-sia, terlebih buat membicarakan hal tak penting apalagi ghibah, maka shalawat badar pun menggema.

Sembari bershalawat, anak-anak remaja masjid meletakkan sebutir kurma di atas air mineral. Mereka melanjutkannya dengan membagikan sekotak makanan berisi ayam dan tempe goreng, serta sayur dengan satu kepal nasi yang cukup padat.

Waktu maghrib kurang dari tiga menit lagi, ruang di depan seratus gelas tersebut sudah penuh. Bahkan, beberapa orang masih berdiri tanpa gelas, kurma, dan kotak nasi di depannya. Pengurus masjid pun langsung mengambil persediaan yang masih tersisa. Mereka mendapatkan semua haknya.

Adzan berkumandang, masing-masing langsung meminum air mineralnya. Ada yang menghabiskan, ada pula yang menyisakannya. Mereka yang menghabiskannya langsung mengambil air teh hangat yang tersedia di depan.

Oman Kholilurrahman, salah satu mahasiswa yang hadir, mengatakan dirinya hanya melanjutkan tradisi di pondoknya saja, di Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. Ia bersama rekan-rekannya biasa jamaah shalat maghrib di Masjid Agung Buntet Pesantren. Kiainya memintanya membawa minum dan takjil sendiri untuk membatalkan puasanya.

"Saat bulan Ramadhan tiba, Kiai Ali selalu mewajibkan santrinya berbuka di Masjid Agung Buntet, dengan membawa makanan dan minuman sendiri. Kata beliau, sing penting jamaah," katanya.

"Bedanya sekarang mah disediain," imbuhnya.

Selain di Masjid Al-Ikhlas, masjid lain juga menyediakan hal yang sama. Masjid Fathullah, misalnya, yang terletak di seberang kampus I UIN Jakarta. Karena letaknya di jalan raya, masjid ini juga tak pernah sepi

Ahmad Subhan Ainurrofiq tak bingung meski isi dompetnya kian menipis. Sebab, ia selalu menyempatkan datang di masjid tersebut menjelang senja. Jamaah biasanya mendapatkan tiga buah kurma dengan satu gelas air mineral sebagai takjil.

Bagi jamaah yang lebih cepat hadir, akan mendapatkan kupon makanan. Sebab, makanan yang tersedia terbatas. "Kupon akan dibagikan pengurus masjid kira-kira satu jam sebelum adzan maghrib berkumandang," ujar Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia itu.

Berbeda dengan Masjid Al-Ikhlash, Masjid Fathullah mengadakan pengajian bagi jamaahnya. Pengisinya para dosen UIN Jakarta. Beberapa menit sebelum maghrib, pengajian akan diakhiri. Perbedaan lainnya, masjid yang berada persis di Rumah Sakit Syahid UIN Jakarta itu memberikan makanan selepas para jamaah menjalankan shalat maghrib. Panitia membagikannya di pintu belakang sebelah utara dan selatan masjid.

Tubagus Akbar juga mengatakan hal yang sama, ia buka di masjid karena gratisnya. Meskipun ia masih memiliki keuangan yang cukup untuk membeli menu buka puasa, tetapi makanan gratis jelas lebih menggoda. Bukan saja karena tak menguras kantong pribadi, melainkan lauknya yang tak biasa ia nikmati di hari-hari biasa.

"Minuman pembuka biasanya es sirup bahkan sampai es buah campur. Kalau makanannya biasanya masakan padang dengan lauk rendang dan ayam bakar," katanya dengan rona bahagia.

"Selagi ada yang gratis dan halal, ya kenapa tidak," ujarnya diiringi tawa.

Saking banyaknya yang datang, Masjid Al-Mauidzatul Hasanah, Pisangan, Ciputat yang ia datangi kerap kali kekurangan makanan. Sampai-sampai panitia mendadak membeli lagi dengan tambahan beberapa bungkus gitu. Tetapi dengan menu warteg.

Masjid yang selalu ia datangi itu tidak lagi menyediakan takjil dan makan untuk sepuluh hari terakhir. Oleh karena itu, ia bergeser ke Masjid Fathullah  "Tapi kalau MH (sebutan masjid Al-Mauidzatul Hasanah) biasanya H min sepuluh sudah tidak ada (takjil dan makan), ya kita meluncur ke Fathulloh," pungkasnya. (Syakir NF)


Terkait