Jakarta, NU Online
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Asrorun Niam Soleh menjelaskan, masyarakat umum mengerti bahwa setiap informasi yang datang kepada mereka harus diklarifikasi terlebih dahulu kevalidannya. Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bagaimana proses klarifikasi itu harus dilakukan.
“Setiap informasi perlu melakukan tabayun (verifikasi),” kata Niam di Jakarta, Rabu (7/6) lalu.
Ia menambahkan, klarifikasi yang dilakukan di ruang publik tidak dibenarkan baik secara etika maupun moral keagamaan, apalagi di media sosial. “Karena tabayun tidak boleh di tempat publik,” ungkapnya.
Katib Syuriyah PBNU itu menyebutkan, ada empat langkah yang seharusnya dilakukan di dalam bertabayun. Pertama, memastikan sumber informasi. Apakah sumber informasinya tersebut terpercaya atau tidak.
“Kedua, kontennya. Bisa jadi orangnya yang kredibel tetapi karena keteledoran, dia juga salah menyampaikan informasi,” terangnya.
Ketiga, konteks ruang, waktu, dan latar belakang informasi. Niam menjelaskan, kontek ruang, waktu, dan latar belakang yang berbeda akan membuat pemahaman yang berbeda pula meskipun sumbernya valid dan kontennya benar.
Ia mencontohkan, ada sebuah foto kejadian di suatu daerah A dan sudah lama terjadi, lalu foto tersebut diberi keterangan bahwa itu baru terjadi di daerah B.
“Ini juga akan membuat pemahaman yang berbeda pula,” jelasnya.
Terakhir, tingkat kemanfaatan informasi. Ia menuturkan, apakah informasi tersebut memiliki manfaat kepada publik apabila disebarkan atau tidak.
“Setelah manfaat. Manfaatnya ini untuk publik atau untuk privat. Baru kemudian kalau dia benar, dia manfaat, dia cocok untuk publik, ya baru kemudian kita sampaikan,” pungkasnya. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)