Nasional

Sumanto Al-Qurtuby Jelaskan Salah Paham Muslim Indonesia dalam Memandang Budaya Arab

Kamis, 9 November 2017 | 23:07 WIB

Semarang, NU Online
Beberapa tahun terakhir ini ada gelombang besar di Indonesia yang cukup fenomenal yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim di Indonesia, yaitu begitu heroik ingin menjadi bagian dari budaya masyarakat Arab.

Hal itu disampaikan oleh Pengajar Antropologi Budaya King Fahd University of Petroleum and Minerals Dhahran Saudi Arabia, Sumanto Al-Qurtuby dalam diskusi publik dengan tema Konstelasi Agama dan Politik di Timur Tengah yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Wahid Hasyim, Kamis (9/11) di Aula Universitas Wahid Hasyim Semaran, Jawa Tengah.

Menurut Kepala Research Committe in Social Sciences di kampus ternama Saudi Arabia itu, orang Indonesia mau berbudaya Arab atau Barat bagian dari hal yang wajar, bahkan sudah sejak lama proses Arabisasi telah berlangsung di Indonesia. Namun persoalannya ada pada kegemaran masyarakat yang meniru budaya Arab atau Barat pada sisi luarnya saja, tidak pada semangat positifnya.

"Boleh-boleh saja menjadi bagian dari Arab atau India, atau Korea atau Cina. Itu masing-masing urusan pribadi. Tidak salah kita ingin menjadi Barat atau Arab, itu hak masing-masing. Hanya saja menjadi masalah, orang Indonesia itu lebih tertarik kepada casing ketimbang konten, isi. Itu sebenarnya persoalan sederhana, tapi sangat fundamental sekali," paparnya.

Bagi penulis buku Religious Violence and Conciliation in Indonesia: Christians and Muslims in the Moluccas itu, dalam meniru kebudayaan lain seharusnya yang ditiru bukan atributnya, melainkan esensi positif yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana meniru Barat bukan pada sisi luarnya, melainkan nilai yang terkandung di dalamnya, seperti kedisiplinan, kerja keras dan semangat dalam melakukan perubahan.

Salah paham

Di tengah kerasnya sebagian umat Islam Indonesia yang meniru budaya Arab seperti mengenakan cadar bagi perempuan dan jubah bagi lelaki, kerap diiringi dengan pemahaman Islam yang konservatif, bahkan radikal.

Hal tersebut menjadi sasaran utama yang kerap dikritik Sumanto Al Qurtuby melalui berbagai tulisannya. Dalam pengamatannya bertahun-tahun mengajar di Saudi Arabia, pemahaman Islam yang kaku, konservatif dan fundamental sudah tidak laku lagi di Saudi Arabia. Pasalnya, Saudi sendiri belakangan sedang berusaha melakukan perubahan besar-besaran dalam semua lini, baik politik, ekonomi, budaya, maupun wacana keagamaannya.

"Masyarakat Arab sekarang sangat-sangat modern dalam segala hal," katanya.

Anggapan muslim dunia Arab menganut paham Islam fundamental bagian dari kesalahpahaman sebagian masyarakat Indonesia. Selain itu, anggapan orang Arab sudah pasti Islam juga kesalahan besar. Di Arab ada banyak agama yang berkembang, ada Kristen, Budha, Islam. Islam juga ada Sunni, Syiah, Ibadi, dan yang lainnya. Bahkan, citra orang Arab sebagai orang yang mempraktikkan keislaman sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad perlu ditinjau kembali. 

"Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Arab lebih banyak ditentukan oleh faktor nonagama, misalnya perkawinan. Dalam Islam misalnya tidak mengatur bahwa nikah harus dari suku yang sama. Dalam praktiknya, di dunia Arab harus dari suku yang sama. Suku dalam masyarakat Arab seperti kasta, ada yang elit, ada yang rendahan. Jangan harap suku yang rendah bisa menikah dengan suku elit," paparnya.

Belum lagi orang Arab juga sering membedakan dirinya dengan orang yang bukan Arab. Bagi masyarakat Arab, kehidupan kesukuan menjadi penentu utama. "Jadi meski ada Islam, tapi kehidupan sehari-hari ada banyak faktor yang menentukan, mulai ekonomi, politik dan terutama kesukuan," katanya.

Karena itu, Sumanto menghimbau kepada masyarakat Indonesia, dalam memahami dunia Arab tidak boleh melulu menggunakan perspektif agama. Konflik yang terjadi di Timur Tengah faktornya bukan karena perbedaan agama atau paham, seperti Syiah dengan Sunni, tapi lebih pada persoalan politik.

"Konflik-konflik Timur Tengah di Indonesia selalu dibaca dengan perspektif agama. Ini sering dikembangkan oleh sebagian tokoh-tokoh agama di sini (Indonesia, red), padahal seharusnya dibaca dari perspektif geopolitik," tandasnya. (Red: Fathoni)


Terkait