Nasional

Sertifikasi Halal Masih Dianggap Beban bagi Pelaku UMKM

Rabu, 4 Mei 2016 | 08:47 WIB

Sertifikasi Halal Masih Dianggap Beban bagi Pelaku UMKM

Ilustrasi

Jakarta, NU Online
Pengetahuan masyarakat dan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih rendah. Hal ini diketahui dari rerata indeks kognisi yang hanya mencapai 31,81.

Demikian disampaikan Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI dalam Seminar “Hasil Penelitian Sikap Pelaku Usaha Kecil Terhadap UU No,33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal” di Hotel Balairung, Matraman, Jakarta Timur, Rabu (4/5).

Menurut tim peneliti, masyarakat memang banyak yang belum mengetahui isi UU JPH. Selama ini masyarakat/UMKM hanya sedikit saja yang telah mengikuti sosialisasi UU JPH yang dilakukan oleh pemerintah.

Walaupun demikian, tingkat afeksi (kesetujuan) pelaku usaha terhadap UU JPH relatif tinggi dengan rata-rata indeks afeksi sebesar 72,66. Pada dasarnya masyarakat di daerah penelitian menginginkan sertifikat halal untuk produk di daerah mereka. Sebagai masyarakat muslim, mereka berkeyakinan untuk menjamin kehahalan suatu produk yang dijual ke masyarakat.

Pelaku usaha nonmuslim juga berkeyakinan bahwa mengonsumsi produk halal bagi umat Islam adalah kewajiban keagamaan, sehingga mereka harus menghormatinya.

Berdasarkan hasil kajian kuantitatif ditemukan rerata indeks konasi sebesar 67,06. Beberapa faktor yang menjadi penyebab rendahnya pelaku UMKM mengajukan sertifikasi halal di antaranya adalah:

1. Biaya sertifikasi halal masih dianggap sebagai beban bagi para pelaku usaha, sehingga lebih banyak menunggu adanya bantuan dari pemerintah;

2. Sertifikasi halal bagi pelaku usaha kecil masih dianggap sebagai kewajiban keagamaan, belum dilihat dari keuntungan bisnis yang dapat menaikkan penjualan dan meningkatkan pendapatan, sehingga pelaku usaha belum merasakan pentingnya sertifikat halal;

3. Sosialisasi yang selama ini berjalan belum maksimal, yaitu melalui  penyuluhan dan pembinaan yang sifatnya  masih terbatas pada beberapa usaha saja, sehinggga belum banyak menyentuh kalangan lebih luas.

4. Isu halal masih dianggap sebagai hal yang sensitif sehingga masayarakat konsumen cenderung merasa enggan mempertanyakan atau mempersoalkan kehalalan suatu produk;

5. Belum adanya kemauan politik yang cukup kuat dari pemangku kebijakan pada tingkatan lokal untuk mendorong para pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal;

6. Masih rendahnya kesadaran dan tingkat kehati-hatian masyarakat konsumen terutama kalangan muslim akan jaminan kehalalan suatu produk;

7. Masyarakat belum menjadikan halal sebagai pilihan utama dalam pemilihan suatu produk, akan tetapi masih pada harga dan tampilan;

8. Sebagian pelaku usaha berpendapat bahwa ketika bahan dasar yang digunakan halal, maka produknya pasti halal juga sehingga tidak perlu label halal pada produknya.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI Muharam Marzuki mengatakan untuk menyosialisasikan kesadaran JPH perlu dilakukan kerja sama antara lembaga terkait, termasuk ormas keagamaan.

“Ormas keagamaan seperti NU, sangat diperlukan untuk menyosialisasikan jaminan produk halal ini. Peranan tokoh masyarakat juga sangat penting agar penyebarluasan kepada masyarakat yang membutuhkan informasi produk halal ini bisa cepat terwujud,” pungkas Muharam. (Kendi Setiawan/Mahbib)


Terkait