Nasional

Selama di Sulawesi Giyono Alami Gempa Tiga Kali

Kamis, 11 Oktober 2018 | 04:45 WIB

Selama di Sulawesi Giyono Alami Gempa Tiga Kali

Giyono (bertopi) dan keluarganya.

Palu, NU Online
Selama tinggal di Sulawesi sejak tahun 1983, Giyono mengaku mengalami tiga kali gempa bumi.

“Gempa pertama tahun 1999 di Lubuk Banggai, itu tidak terlalu besar. Lalu tahun 2005 ada ledakan Debora dengan kekuatan 6 SR,” papar Giyono di pengungsian warga Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10)

Pria asal Sragen Jawa Tengah yang mengikuti orang tuanya transmigrasi ke Sulawesi ini mengatakan gempa bumi tanggal 29 September 2018 sebagai gempa terbesar yang pernah dia rasakan.

“Waktu gempa itu, saya ada di rumah mau jamaah shalat Maghrib di masjid dekat rumah. Saya mendengar gemuruh yang ternyata gempa,” ujarnya.

Besarnya guncangan gempa membuat dia segera lari keluar dari rumah. “Begitu tanah goyang, kami menyelamatkan diri bagaimana supaya bisa lari,” kata Giyono.

Gempa dahsyat itu, digambarkan Giyono bukan saja manusia yang jadi terhuyung-huyung, tetapi binatang sapi yang berkaki empat pun hanya bisa diam saat guncangan gempa terjadi.

Gempa mengakibatkan saluran air di desanya terputus karena tanah amblas dan terbelah. Ia pun belum bisa kembali bertani karena kering dan rusaknya lahan-lahan tersebut.

Di Palu, menurut Giyono, orang Jawa bukan hanya dirinya. Beberapa tahun ini, orang Jawa yang datang ke Sulawesi biasanya bekerja sebagai pedagang makanan atau membuka rumah makan. Di Palu orang menyebut warung makan  sebagai sari laut.

"Pedagang makanan, nasi pecel, warteg kalau di Jawa. Biasanya buka dari jam lima sampai jam satu malam karena menyediakan makanan untuk warga yang masih lalu lalang pulang kerja. Sekarang belum buka lagi karena rusaknya jalan," papar Giyono.

Kondisi itu sempat mengakibatkan sepinya Kota Palu. Rabu (10/10) malam, toko-toko di sepanjang jalan Kota Palu juga terlihat tertutup. Banyak wilayah di Kota Palu belum teraliri listrik sehingga melumpuhkan perenonomian warga.(Kendi Setiawan)


Terkait