Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama menghadapi tantangan cukup berat di tengah maraknya cara berpikir dan perilaku ekstrem dari sejumlah kelompok agama. Nahdliyin perlu penguatan nilai-nilai ke-NU-an di samping menjaga diri dari reaksi ekstrem serupa.
<>
Pandangan ini mencuat dalam forum Sekolah Aswaja yang digelar Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jakarta Pusat, Kamis (19/3) petang, di aula kantor PBNU, Jakarta. Diskusi bertema “Bincang Islam Ramah: Darurat Vulgarisme Beragama” ini menghadirkan narasumber Kepala Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Wawan Junaidi dan aktivis muda NU Safi’ Alielha.
Safi’ menyoroti betapa gerakan Islam garis keras kini kian agresif dalam menyebarkan propagandanya, tak hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Mereka bertindak mengatasnamakan bagian dari kelompok Islam tertentu, termasuk sebagai Sunni seperti yang dilakukan ISIS.
Kondisi tersebut, katanya, tentu menjadi tantangan bagi NU sebagai sesama Sunni yang dalam praktiknya sangat kontras dengan apa yang dilakukan ISIS. “Menurut saya, NU itu lebih dari sekadar Sunni. Ia mempunyai kearifan tersendiri, seperti memegang nilai tasamuh (toleransi) dan tawasuth (moderasi),” tambah Pemimpin Redaksi NU Online ini.
Melalui nilai-nilai ini para ulama Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia mampu mempengaruhi keberagamaan masyarakat tanpa menimbulkan gejolak berarti. Hal tersebut disebabkan pendekatan dakwah yang dilakukan bersifat toleran, menghormati lokalitas, dan menghargai proses.
Yang menjadi persoalan sekarang, lanjutnya, seberapa jauh generasi muda NU memahami prinsip-prinsip sosial itu. “Saya yakin kita yang ada di sini masih belum begitu paham pandangan tawasuth menurut Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam Maturidzi, Imam Syafi’i, Hanafi, dan lain-lain,” ujarnya di hadapan para aktivis PMII Jakarta Pusat.
Safi’ juga menyayangkan ada sebagian tokoh NU yang menilai ormas tertentu yang gemar melakukan kekerasan adalah bagian dari NU meskipun dengan atribusi “NU galak”. “NU kok galak, tidak ada ceritanya NU galak, apalagi terhadap sesama saudara sendiri,” paparnya.
Sementara Wawan menggarisbawahi bahwa perilaku merusak atau vandalisme dalam beragama berakar dari cara berpikir yang sempit dan kolot. Mereka menganggap diri mereka paling benar sedangkan yang lain pasti salah.
Ia menekankan, dalam bingkai NKRI ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa) dalam rumusan ulama NU harus lebih diutamakan ketimbang ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Islam).
Mantan aktivis PMII ini juga mengingatkan agar NU, terutama Banser atau Pagar Nusa, tak terpancing ikut bertindak kekerasan, termasuk kepada kelompok yang berseberangan secara pemikiran.
Sekolah Aswaja PC PMII Jakarta Pusat berlangsung selama dua hari. Ketua PC PMII Jakpus Daud Azhari mengatakan, malam ini hingga besok, Jumat (20/3), kegiatan ini digelar di kantor Ikatan Alumni PMII (IKA-PMII), Tebet, Jakarta. (Mahbib)