Jakarta, NU Online
Aktivis 98, Mohamad Syafi’ Alielha atau yang akrab disapa Savic Ali menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih jauh dari cita-cita reformasi.
Ia menyebut lembaga legislatif tersebut belum sepenuhnya menjalankan peran sebagai wakil rakyat, karena perilakunya masih kerap transaksional dan lebih mengutamakan kepentingan elit politik.
Menurut Savic, sebelum reformasi DPR hanya berfungsi sebagai "pemegang stempel" kebijakan pemerintah. Namun setelah reformasi, meski sistem multipartai memberi ruang perbedaan, praktik politik di parlemen tetap didominasi oleh transaksi kepentingan.
"Sehingga esensi dari DPR sebagai perwakilan rakyat, sebagai badan legislatif, ya tidak terwujud sesuai harapan reformasi. Jadi distorsinya banyak," ujar Savic dalam diskusi DPR, Demokrasi, dan Perempuan:
Merdeka untuk Siapa? melalui akun Instagram RumahKitab, Rabu (27/8/2025).
Savic juga menyoroti gaya hidup dan privilege anggota DPR yang dianggap berjarak dengan rakyat. Menurutnya, tidak ada satu pun anggota DPR yang merasa gaji dan tunjangan mereka terlalu besar, padahal nilainya mencapai belasan hingga puluhan kali lipat dari rata-rata penghasilan masyarakat Indonesia.
"Kalau kita menyaksikan parlemen di Belanda, misalnya, anggota DPR-nya sederhana, naik sepeda ke kantor, bahkan tinggal di kontrakan. Tapi di Indonesia, anggota DPR terlihat jelas sebagai elit yang berbeda dengan warga biasa," ungkapnya.
Lebih jauh, Ketua PBNU itu juga menilai banyak calon legislatif maju ke parlemen bukan karena dorongan memperjuangkan rakyat, melainkan untuk membangun karir politik dan mengejar keuntungan pribadi.
"Kalau niatnya memang bukan dengan semangat memperjuangkan kepentingan masyarakat, ya akan keliru ke depannya. Sebagian besar menurut saya begitu. Orang mencalonkan diri jadi anggota DPR karena jabatan publik dianggap bisa cepat kaya," jelasnya.
Savic juga menyinggung peran partai politik yang menurutnya semakin oligarkis. Hampir seluruh sektor kehidupan di Indonesia, dari olahraga hingga komunitas hobi, tak lepas dari jangkauan partai politik. Namun, partai justru gagal membangun mekanisme seleksi kader yang layak.
"Partai politik itu adalah gerbang pertama bagi siapa pun yang ingin jadi pejabat publik. Tapi problemnya, partai tidak menciptakan ekosistem yang bisa memperkecil kecenderungan oligarki. Padahal seharusnya ada transparansi, kritik, dan kontrol,” tegasnya.
Savic mendorong keterlibatan publik untuk memperbaiki parlemen. Masyarakat, katanya, perlu menuntut DPR membuka proses pembahasan RUU maupun rapat-rapat penting ke publik agar fungsi pengawasan berjalan.
"Masyarakat tidak boleh pasif. DPR harus dipaksa transparan, dan publik harus berani mengawasi mereka," pungkas Savic.