Nasional

Sarbumusi Ingatkan Chevron Indonesia Patuhi Perundang-undangan

Selasa, 2 Februari 2016 | 12:01 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam Regulasi Ketenagakerjaan di Indonesia, setiap perselisihan ketenagakerjaan wajib dirundingkan terlebih dahulu melalui mekanisme Bipartit agar diperoleh kesepakatan melalui mekanisme musyawarah mufakat. Undang-undang juga mengamanatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apalagi secara massal merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

"Dalam konteks ini pengusaha, serikat buruh dan pemerintah dalam dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Dan apabila PHK tidak dapat dihindari maka mekanisme perundingan menjadi tempat kesepakatan PHK antara pengusaha dan serikat buruh serta diakhiri dengan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial," ujar Presiden Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi)  Syaiful Bahri Anshori, di Jakarta, Selasa (2/2/2016).

Menanggapi PHK massal dilakukan PT Chevron Pasific Indonesia, Syaiful didampingi Sekretaris Jendral Sukitman Sudjatmiko mengingatkan, perusahaan tersebut merupakan perusahaan multi nasional dalam eksplorasi migas dan pertambangan di Indonesia.

"Sehingga seharusnya menaati dan mengetahui bagaimana proses dan mekanisme hukum yang terjadi di Indonesia. Maksud untuk melakukan PHK Massal terkait dengan anjloknya harga minyak dunia semestinya harus melalui tata cara perundang-undangan yang berlaku di Indonesia," ujar Syaiful mengingatkan.

Sarbumusi sebagai Badan Otonom Nahldatul Ulama (NU) yang concern terhadap permasalahan buruh mengecam manajemen PT Chevron Pacific Indonesia yang secara sepihak tanpa melakukan perundingan dengan melibatkan serikat buruh yang berada di perusahaan tersebut dan langsung melakukan sosialisasi kepada seluruh buruh dan karyawannya mengenai akan adanya pengurangan karyawan sebanyak 25 persen (sekitar 2.000 orang karyawan) dari jumlah seluruh karyawan yang ada sekitar 6.500 karyawan.

Tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang ada, lamjutnya, perusahaan melakukan seleksi kepada seluruh karyawan yang dipilih untuk menduduki posisi baru dalam struktur organisasi perusahaan yang baru dengan posisi karyawan 4.480 orang.

Syaiful menambahkan, pihak manajemen PT Chevron Pacific Indonesia dalam hal ini, tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang ada untuk melakukan perundingan dengan serikat buruh yang ada di perusahaan.

Manajemen melakukan proses penahapan terhadap rencana (perusahaan tersebut hari ini sudah mulai melakukan penahapan tersebut tanpa mendengarkan suara dari serikat buruh), PHK massal dengan menentukan program melalui pemilihan atau seleksi sebanyak tiga tahapan, dimulai dari 30 Januari hingga April 2016.

"Kasus ini jelas menunjukan bahwa betapa perusahaan-perusahaaan besar seperti PT Chevron Pasific Indonesia tanpa memandang sebelah mata dan mengindahkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia akan melakukan PHK massal tanpa peduli saran dan larangan dari berbagai pihak," katanya.

SKK Migas sebagai regulator dalam konteks tata kelola perusahaan migas telah meminta dengan tegas terhadap manajemen PT Chevron Pasific Indonesia untuk melakukan perundingan terhadap rencana PHK massal tersebut dengan pihak serikat buruh.

"Tapi hal ini pun tidak diindahkan sama sekali oleh pihak manajemen PT Chevron Pasific Indonesia. Selain  melakukan PHK dengan melanggar aturan hukum dan hak asasi manusia (HAM) juga telah melakukan pelanggaran dengan berbagai cara agar maksud dan tujuan dari pihak pemegang saham untuk melakukan PHK tanpa mempedulikan mekanisme dan tata aturan perundang undangan yang ada," tandas Syaiful Bahri. (Gatot Arifianto/Fathoni)


Terkait