Rais ‘Aam PBNU Jelaskan Hubungan Muslim dan Non-Muslim di Indonesia
Jumat, 14 Juli 2017 | 09:19 WIB
Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan, Indonesia bukan negara Islam, negara sekuler atau negara kafir. Ia menyebut republik ini darus shulh (negara damai) karena dibentuk atas dasar kesepakatan untuk hidup secara damai.
“Hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hubungan mu'ahadah, saling berjanji untuk hidup damai,” paparnya sebelum mendeklarasikan Majelis Dzikir Hubbul Wathan di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (13/7) malam.
Mengutip Imam al-Ghazali, Kiai Ma’ruf menjelaskan bahwa negara selalu dibentuk atas dasar interdependensi atau kesalingtergantungan antara satu komponen dengan komponen lain. Sebab itu, sesama anak bangsa seyogianya saling menopang dan menguatkan.
Ia juga menerangkan peran ulama yang begitu besar terhadap Tanah Air, baik prakemerdekaan maupun proses pembentukan negara. Saat permumusan dasar negara, para ulama rela mencoret kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama. Dokumen historis yang dikenal Piagam Jakarta itu menurut Kiai Ma’ruf adalah wujud kecintaan umat Islam terhadap keutuhan negeri ini.
“Tapi kesatuan ini menjadi terganggu ketika ada kelompok-kelompok yang tidak memiliki komitmen kebangsaan, ingin mengubah dasar negara, dari kalangan radikalis, baik radikalis agama maupun radikalis sekuler,” tuturnya.
Ketua Umum MUI ini berharap Majelis Dzikir Hubbul Wathan bisa menjadi sarana sinergitas antara ulama dan pemerintah dalam mengatasi sejumlah persoalan bangsa. Forum ini tidak hanya menjadi wahana dzikir bersama, tapi juga wadah dialog kebangsaan yang mempertemukan berbagai elemen.
Malam itu hadir Presiden Joko Widodo beserta sejumlah menteri Kabinet Kerja, Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj, KH Maimun Zubair, KH Miftahul Akhyar, KH Anwar Manshur, Tuan Guru Turmudzi, dan ulama lainnya. (Mahbib)