Tangerang Selatan, NU Online
Turut ayahnya, Abdul Lathif, berhaji saat umur 11 tahun, Syaikh Khatib Minangkabau meneruskan mukim di tanah suci untuk mengaji.Di sana, ualma kelahiran Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6 Zulhijjah 1276 H (26 Juni 1860) itu tinggal bersama paman dan bibinya.Begitulah Ahmad Ginanjar Sya’ban mengawali Kajian Turats Ulama Nusantara Seri 13 yang digelar di Islam Nusantara Center, Sabtu (29/7).
Dalam paparannya pada diskusi bertema Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Kemilau Nusantara di Makkah itu, Ginanjar tidak menjelaskan peran strategis yang dimainkan menantu Syekh Muhammad Salih al-Kurdi itu dalam perjuangan kemerdekaan tanah airnya sendiri. Ini yang kemudian menggelitik salah satu peserta untuk menanyakannya.
Perjuangan ulama yang halaqahnya dihadiri ratusan pelajar dari berbagai negara, untuk Indonesia bermula dari permintannya kepada santri untuk meneruskan studinya ke Mesir. Zainul Milal Bizawi sebagai pembanding narasumber mengatakan, bahwa usulan Syaikh Ahmad Khatib tersebut bukan tanpa alasan. Tujuannya agar para santrinya itu dapat menimba semangat nasionalisme dari negara tersebut untuk kemudian diterapkan di tanah air.
“Motif Syekh Ahmad Khatib mengirim santri-santrinya ke Mesir, saya pikir untuk menimba semangat nasionalisme di sana untuk diterapkan di Indonesia,” ujarnya menanggapi pertanyaan tersebut.
Senada dengan Gus Milal, Ginanjar menambahkan, bahwa hal tersebut dilakukan karena Makkah adalah kota spiritual, sedangkan Mesir saat itu sudah tumbuh menjadi kota pergerakan.
“Makkah saat itu kota spiritual, sedangkan Mesir kota pergerakan,” ujarnya menanggapi pertanyaan yang sama.
Dosen STAINU Jakarta itu menyatakan, bahwa perang tidak saja dengan memegang senjata. Tetapi, perlu juga lobi-lobi internasional. Dari Mesirlah, lobi internasional itubermula. Para santri bergerak bersama pelajar Nusantara lain di luar negeri.
“Mesir menjadi pusat gerakan pelajar yang menggelorakan kemerdekaan dan perjuangan bumiputra,” ungkapnya.
Muhammad Rasyidi, salah satu mahasiswa Indonesia diKairo, melakukan komunikasi dengan Perdana Menteri Mesir saat itu Ahmad Naqrasyi Pasha. Ia menyampaikan, bahwa ada negara muslim terbesar di India Timur bernama Indonesia sedang bergolak guna meraih kemerdekaannya.
“Untuk memberitakan ada negara muslim terbesar di India Timur namanya Indonesia. Karena dulu nama Indonesia majhul, enggak diketahui. Yang diketahui adalah Jawah,” jelasnya.
Naqrasyi membawa berita itu ke Sidang Liga Arab. Indonesia menjadi pembahasan penting dan diwartakan melalui koran-koran. Sampai akhirnya, Liga Arab menghasilkan keputusan melalui sekjennya yang pertama Abdul Rahman Hassan Azzam untuk mendesak PBB agar mengingatkan Belanda agar menghentikan agresi militernya.
Selain lobi, Alumni Universitas Al-Azhar itu juga mengemukakan bahwa para santri Syekh Khatib Minangkabau itu mengelola Majalah Seruan Al-Azhar (1925-1927) sebagai corong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Majalah ini diterbitkan oleh Tohir Jalaluddin, Mahmud Yunus, Idris Marbawi, Fathurrahman Kafrawi, dan Jinan Tayib dengan bahasa Melayu dan beraksara Arab itu menjadi corong gelora.
Selain Seruan Al-Azhar, ada pula Majalah Merdeka. Dua majalah itu berkorespondensi dengan majalah Bintang Timur yang dikelola persatuan pelajar yang ada di Belanda.Jinan Tayib, pemimpin redaksi Seruan Al-Azhar pergi ke Belanda guna merumuskan cara memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya, Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia bersama negara-negara Arab lainnya. Dalam satu pertemuannya, Liga Arab juga menghasilkan keputusan mendesak PBB untuk menindak Belanda agar segera pergi dari tanah Indonesia. Pada tahun 1949, berkat perjuangan diplomasi internasional para santri ulama Nusantara dan pewartaannya, Indonesia merdeka secara penuh. (Syakirnf/Fathoni)