Nasional

Paham Tekstualis Picu Gagal Paham terhadap Islam

Jumat, 9 November 2018 | 13:00 WIB

Paham Tekstualis Picu Gagal Paham terhadap Islam

Gus Nadir (Foto: Ist.)

Bandarlampung, NU Online
Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama Australia dan Newzealand Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa dinamika Islam yang terjadi di Indonesia selalu menjadi topik hangat terlebih menghadapi tahun politik. Termasuk terminologi Islam Nusantara yang menurutnya merupakan ekspresi keberagamaan saja dengan aqidah yang sama seperti muslim di Arab atau di belahan bumi lainnya.

Indonesia menurutnya memang menjadi objek menarik para peneliti dunia Islam. Di samping secara statistik sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia juga mempunyai karakteristik keislaman yang khas dan berbeda dengan negeri Arab sebagai muasal agama Islam.

“Melihat Islam Nusantara ya lihatlah kiai pesantren dalam melayani masyarakat. Indonesia beda dengan Arab, bukan berarti anti Arab,” tegas Alumni pesantren Buntet Cirebon yang sudah 21 tahun tinggal di Australia ini.

Gus Nadir, begitu ia biasa disapa, menampik anggapan tentang Islam Nusantara sebagai agama baru ataupun madzhab tertentu yang bertentangan dengan syariat Islam.


Ia menambahkan, ekspresi keberislaman dalam sejarahnya tidak pernah tampil dalam wajah yang tunggal. Sebab setelah Islam berkembang hingga ke luar Arab, Islam mengalami proses akulturasi sesuai dengan budaya lokal.

“Di Arab pake sorban dan jubah. Di sini ada yang pake peci atau blangkon, bersarung terus shalat. Asal menurut kaidah fiqh memenuhi syarat, shalatnya sama-sama sah,” jelasnya saat mengisi Pengajian Kebangsaan bertemakan Islam Moderat-Islam Nusantara: Masa Depan Indonesia dan Isu Tantangan Kekinian di Masjid Agung Al-Furqon, Lungsir Bandar Lampung, Kamis (8/11) malam.
 
Oleh karena itu ia mengajak umat Islam untuk menghormati perbedaan ekspresi keagamaan dengan mengedepankan sikap tasamuh seperti yang di contohkan para ulama. Ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada manhaj ulama yang nilai-nilai Islam akan selalu relevan dalam menjawab tantangan zaman.

Ia pun mengingatkan kepada seluruh umat Islam untuk memahami secara menyeluruh Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber primer hukum Islam, baik dari sisi teks maupun konteksnya. Ayat dan Hadits bila hanya dipahami secara tekstual justru dapat menyebabkan kegagalan pemahaman pada Islam itu sendiri.

“Al-Qur’an tidak turun di ruang hampa. Ketetapan dalam Al-Qur’an maupun Hadits adalah proses dari interaksi Nabi dengan kondisi sosial dan budaya bangsa Arab pada waktu itu,” jelasnya.

Turunnya suatu ayat dan Hadits amat berkaitan dengan konteks yang melingkupinya. Maka ketetapan Ulama dalam mengambil hukum berpotensi tidak sama antara madzhab satu dengan lainya.

“Al Quran dan Hadits dari dulu ya satu ya sama, yang berbeda ekspresi keberagamaanya. Maka beda madzhab itu biasa. Buktinya saat kita Haji, ada macam-macam ekspresi ibadah, ada yang bersedekap tapi ada juga yang melepas tanganya saat shalat,” imbuh penulis buku Islam Yes, Khilafah No ini

Ia pun mengingatkan warga NU untuk bijak dan hati-hati dalam menyikapi persoalan agama dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum dan manhaj para Ulama yang mu’tabaroh disertai perspektif keagamaan yang luas.

“Makanya memahami teks ayat maupun Hadits jangan lepas dari konteksnya. Dipahami dulu Tarih Tasyri’nya (sejarah ketetapan hukum), Maqosidus syari’ah (tujuan syariat) nya juga. Supaya kita tidak terjebak pada pemikiran sempit, mudah menuduh pada pihak yang berbeda,” pungkasnya. (Red: Muhammad Faizin)


Terkait