Nasional

Muslimat NU dan MPR RI Paparkan Tantangan Kebangsaan Saat Ini

Senin, 7 Mei 2018 | 03:15 WIB

Muslimat NU dan MPR RI Paparkan Tantangan Kebangsaan Saat Ini

Mahyuddin (MPR RI) dan Nyai Nurhayati (Muslimat NU)

Jakarta, NU Online
Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama menggandeng Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk terus melakukan sosialisasi pilar-pilar kebangsaan. Upaya tersebut penting mengingat tantangan bangsa Indonesia saat ini semakin kompleks.

Ketua Periodik PP Muslimat NU Nyai Hj Nurhayati Said Aqil Siroj mengatakan, Muslimat yang menjadi bagian Nahdlatul Ulama terus berkomitmen menguatkan pilar-pilar kebangsaan kepada seluruh elemen bangsa.

Ia tidak memungkiri, wawasan kebangsaan anggota Muslimat NU tidak diragukan lagi. Namun, melihat perkembangan perpolitikan tanah air dan wacana kenegaraan yang terus berubah, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 harus terus ditanamkan.

“Pancasila sebagai pedoman dan tujuan hidup, baik dalam bernegara dan berbangsa. Meskipun Muslimat NU sudah berpancasila lama, kita harus terus memperkuat Pancasila sehingga tidak hilang,” ujar Nyai Nurhayati kepada sekitar 400 guru PAUD se-Jabodetabek pekan lalu di Kalibata, Jakarta Selatan dalam sosialisasi empat pilar kebangsaan.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Mahyuddin menerangkan tantangan kebangsaan, baik internal maupun eksternal. Tantangan ini menurutnya harus diwaspadai dan direspon oleh seluruh elemen bangsa.

“Di antara tantangan internal yaitu pertama, pandangan keagamaan yang sempit sehingga memunculkan paham dan tindakan radikal,” ucap Mahyuddin.

Kedua, rasa ingin memisahkan diri dari NKRI oleh sebagian kelompok kecil di sejumlah daerah. Ancaman disintegarasi bangsa ini sebetulnya sudah berusaha diselesaikan pemerintah dengan membentuk sistem otonomi khusus. “Namun, usaha otonomi daerah kurang maksimal karena rasa ingin memisahkan tersebut,” ungkap Mahyuddin.

Ketiga, kurangnya penghargaan terhadap kebinekaan dan kemajemukan. Menurut Mahyuddin, SARA tidak boleh dikedepankan, itu biasanya terjadi dalam politik.

“Memilih pemimpin Islam, itu ditanamkan di hati masing-masing saja, gak usah dikampanyekan atau diributkan di luar karena ini bisa menimbulkan perpecahan, gangguan, konflik horisontal antar-anak bangsa,” tegasnya.

Keempat, kurangnya sikap dan perilaku dari tokoh-tokoh bangsa. Menurut mahyuddin, kalau jadi pejabat negara harusnya menjadi negarawan. Tetapi, selama ini banyak yang salah jurusan. Ingin jadi pejabat biar kaya.

“Kalau pengen kaya, jadi pengusaha. Yang didagangkan kebutuhan sehari-hari. Lah, ini yang didagangkan anggaran. Jadi siapa lagi yang kita contoh kalau pejabat negara tidak memikirkan negaranya.

Kemudin kelima, penegakan hukum yang tidak tegas. Ada yang mengatakan, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Meskipun Mahyuddin merasa miris melihat semua penjara di Indonesia overload, tetapi ia menyoroti hukum yang terkadang tidak tegas ketika menindak kaum elit.

Adapun tantangan kebangsaan secara eksternal menurut Mahyuddin bisa dilihat dari pengaruh globalisasi. Globalisasi ini tidak hanya menyangkut satu bidang saja, tetapi berbagai bidang, baik ekonomi, teknologi, pendidikan, dan lain-lain.

“Dunia digital, pengaruh globalisasi yang semakin meluas dan persaingan antarbangsa yang semakin tajam. Makin menguatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional,” ungkap Mahyuddin. (Fathoni)


Terkait