Jakarta, NU Online
Pasca serangan teror yang merontokan menara kembar World Trade Center (WTC) New York, 11 September 2001, islamofobia menyebar di negara-negara Barat. Komunitas muslim diidentikan dengan pelaku terorisme.
<>
Kekeliruan pandangan dan stereotif itu masih terjadi. Bahkan terjadi dalam aksi-aksi teror . Masih berkembang pandangan, Islam merestui sikap intoleran dan terorisme.
Berdasarkan laporan bayangan European Network Against Racism (ENAR) 2012, diskriminasi, intoleransi dan rasisme terhadap minoritas seperti muslim, Yahudi, warga Keturunan Afrika, dan para imigran meningkat dan menyebar di hampir seluruh negara di Eropa. Kelompok Muslim adalah pihak yang paling banyak mengalami kasus-kasus diskriminasi dan intoleransi. Kebanyakan kasus-kasus tersebut terjadi dalam hal pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan penegakan hukum.
Diskursus publik dan politik yang memposisikan kelompok minoritas dan migran ini sebagai kelas kedua, memperkuat aspek diskriminasi dan rasisme ini. Padahal, Charter of Fundamental Rights of The European Union menjamin kebebasan beragama (Pasal 10) serta melarang diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan (Pasal 21).
Dalam implementasinya, negara-negara anggota UE (European Union)masih menghadapi banyak hambatan. Di Belgia misalnya, penganut Islam khususnya yang berjanggut dan memakai jilbab serta burka, oleh sebagian masyarakat masih diidentikkan dengan teroris. Mereka dilarang memakai simbol-simbol keagamaan di ruang publik.
Di Prancis, Collective Against Islamophobia in France mencatat lebih dari 700 kasus kasus-kasus diskriminasi dann intoleransi dialami komunitas muslim sepanjang 2013.
Megatasi tantangan itu masih dianggap makin tak mudah dengan perkembangan politik kontemporer. Kursi kelompok sayap kananyang antiimigran dan antimuslim berpeluang naik. Baru-baru ini, di Perancis, partai Front National pimpinan Marie Le Pan memenangkan pemilihan umum di berbagai daerah pemilu di Perancis. Pemilu Parlemen Eropa pada 22-25 Mei 2014 mendatang juga diwarnai dengan kekhawatiran yang sama.
Sebagai negara demokrasi yang makin berkembang, Indonesia juga menghadapi tantangan yang serupa. Laporan The WAHID Institute mencatat, sepanjang 2013 jumlah intoleransi yang dialami kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, komunitas Kristen, dan mereka yang dituduh sesat terjadi 245 kasus. Sebanyak 106 peristiwa (43%) pelakunyanya negara, 139 peristiwa (57%) aktor nonnegara.
“Seminar yang digelar The Wahid Institute bekerjasama dengan ENAR diharapkan bisa memberi pemahaman lebih komprehensif terhadap berbagai masalah diskriminasi atas minoritas yang dihadapi Uni Eropa dan Indonesia,” terang Direktur Yenny Zannuba Wahid di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (14/4).
Melalui forum seminar bertajuk “Fundamental Rights in the European Union: Lesson Learned for Indonesia” ini diharapkan pula bisa meningkatkan sinergi antara masyarakat Sipil di Uni Eropa dan Indonesia dalam konteks kerjasama perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Red. Abdullah Alawi)