Jakarta, NU Online
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi yang lahir dari perut Nahdlatul Ulama telah melahirkan banyak tokoh dengan beragam profesi dan jabatan di Indonesia, tidak terkecuali menjadi politikus.
Nama-nama seperti H Muhaimin Iskandar, Hj Khofifah Indar Parawansa, H Lukman Hakim Saifuddin, dan H Muhyidin Arubusman adalah politisi yang pernah berproses di PMII.
Untuk nama terakhir yakni H Muhyiddin Arubusman, tidak sepopuler politikus lainnya. Namun, ia laik menjadi teladan bagi para calon politisi.
Menurut dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Amsar A Dulmanan, walaupun H Muhyidin Arubusman masuk dunia politik, tapi moralitasnya tetap terjaga.
"(Muhyidin) Moralitasnya luar biasa," jelas Amsar, pria yang pernah dikader Muhyidin di PMII, kepada NU Online di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (11/4).
Begitu juga pergaulan Muhyidin yang terbuka. Menurutnya, Muhyidin tetap memegang moral dan menjaga tradisi untuk tidak melakukan hal-hal negatif, seperti minum-minuman keras.
Oleh karena moralitas Muhyidin yang tinggi itu, membuat Pemuda Pancasila, pemuda Golongan Karya (Golkar), dan lain-lain sangat menghormatinya.
"Itu sangat hormat terhadap Bang Muhyidin karena secara moralitas ke-NU-an ia jaga. Jadi kalau anak-anak minum ada Bang Muhyiddin misalnya, itu minumannya dipinggirin, saking menjaga otoritas moralitas yang namanya Muhyidin Arubusman," katanya mengenang.
Muhyiddin menjadi politikus Partai Golkar yang saat itu diketuai Soedharmono periode 1983-1988. Namun, ia masuk dunia politik hanya untuk membesarkan kader-kader PMII di dunia pendidikan.
"Dia hanya bagaimana masuk ke jaringan politik itu mau ngebesarkan adek-adeknya (kader PMII) bisa menerima beasiswa dan berangkat ke berbagai negara. Salah satunya mengusahakan beasiswa untuk Masykuri Abdillah," pungkasnya.
H Muhyidin Arubusman meninggal dunia di Rumah Sakit Tebet di Jakarta Selatan, Senin (10/4/2017). Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB PMII periode 1981-1985 dan Sekretaris Jenderal PBNU periode 1999-2004. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)