Nasional

MPR Nilai Amandemen UUD 1945 Keniscayaan untuk Perbaikan Konstitusi

Jumat, 22 Agustus 2025 | 20:00 WIB

MPR Nilai Amandemen UUD 1945 Keniscayaan untuk Perbaikan Konstitusi

Ilustrasi: sidang tahunan MPR/DPR RI tahun 2025. (Foto: TV Parlemen)

Jakarta, NU Online 

Wakil Ketua MPR RI Bambang Wuryanto menegaskan bahwa perubahan atau amandemen terhadap UUD NKRI Tahun 1945 merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Menurutnya, konstitusi adalah produk dinamis yang harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.


"MPR akan memfasilitasi diskusi tentang perubahan UUD NKRI Tahun 1945. Diskusi ini diikuti mereka yang sudah memiliki pemahaman terhadap sejarah perubahan konstitusi sejak UUD 1945," katanya dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NKRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/8/2025).


Bambang Pacul, sapaan akrabnya, mendorong peserta seminar untuk menelaah kembali perjalanan perubahan konstitusi Indonesia. 


"Nanti MPR melalui para Pimpinan MPR akan menggelar diskusi yang membicarakan menuju perubahan atau amandemen UUD NKRI Tahun 1945," ujarnya.


Bambang menambahkan, pembahasan menuju amandemen konstitusi akan ditopang oleh tim yang beranggotakan para pakar. 


"Sebagai Pimpinan MPR, saya pastikan untuk menuju perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR akan memfasilitasi dengan menggelar diskusi rutin untuk amandemen UUD NRI Tahun 1945," sebutnya.


Sementara itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menekankan bahwa konstitusi tidak pernah lahir dalam bentuk sempurna.


"Karena itu dalam UUD pasti ada ruang ketidaksempurnaan. Sehebat apapun perumus konstitusi akan tetap tidak sempurna," ujarnya.


Jimly mengingatkan bahwa sejak awal Bung Karno sudah menegaskan UUD 1945 hanya bersifat sementara. “Jadi jangan membayangkan UUD 1945 sempurna,” tuturnya.


Ia menjelaskan, amandemen empat tahap pada 1999–2002 juga tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. 


"Konstitusi kita tidak sempurna. Dari waktu ke waktu, konstitusi harus menampung nilai-nilai dan norma baru. Caranya melalui amandemen UUD. Tetapi tidak mungkin konstitusi selalu diubah, maka diperlukan adanya konvensi ketatanegaraan," jelasnya.


Menurut Jimly, amandemen konstitusi tidak seharusnya terbatas pada isu PPHN semata.


"Amandemen UUD dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya untuk memasukkan ketentuan tentang PPHN. Jika dilakukan amandemen UUD, jangan hanya soal PPHN," katanya.


Ia menilai momentum 25 tahun reformasi menjadi saat tepat untuk mengevaluasi kembali hasil amandemen terdahulu, termasuk penataan lembaga DPD dan kewenangan Komisi Yudisial. 


"Momentum kepemimpinan MPR periode 2024-2029 di bawah Ketua MPR Ahmad Muzani sesudah terbentuknya pemerintahan baru Prabowo Subianto, adalah saat tepat untuk memperbaiki sistem konstitusi kita," ujarnya.


Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MK Saldi Isra menggarisbawahi bahwa perubahan konstitusi pada era reformasi membuka ruang publik yang lebih luas.


"Tetapi sejak UUD diubah sudah ada catatan-catatan mengenai kelemahan perubahan itu sendiri," katanya.


Ia menyebutkan, MPR pernah membentuk Komisi Konstitusi sebagai upaya mengevaluasi kembali hasil amandemen.


"Perubahan UUD memang hasil kompromistis, tetapi kalau tidak disepakati maka akan ada kelompok yang tidak terwakili dalam perubahan konstitusi," jelasnya.


Sejalan dengan Jimly, Saldi menegaskan bahwa tidak ada konstitusi yang mampu menampung seluruh perkembangan zaman.


"Kalau konstitusi diubah terus menerus maka tidak ada bedanya dengan UU. Maka, biasanya dibangun tradisi positif yang dikenal dengan konvensi ketatanegaraan," ujarnya.


Seminar yang dibuka Ketua MPR Ahmad Muzani ini menghadirkan sejumlah tokoh, antara lain Jimly Asshiddiqie (Ketua MK pertama), Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan mantan Ketua PAH I MPR RI, Jacob Tobing.

 

Turut hadir Wakil Ketua MPR Rusdi Kirana, Hidayat Nur Wahid, pimpinan fraksi dan kelompok DPD, sejumlah pimpinan badan MPR, Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah, serta kalangan akademisi dan mahasiswa.