“Baiklah, Jang, ambillah rebana itu! Dendangkan tetabuhan sampai rampak! Sampai semua orang tahu bahwa kita masih punya harga diri untuk dipertahankan. Pukullah dengan semangat anak muda kau!”<>
Demikian anjuran Salam Said kepada anak muda bernama Ujang Rumansyah. Salam Said adalah seorang tua penabuh rebana. Ia putus asa karena tradisi tetabuhan yang lekat di tanah kelahirannya itu, tak lagi diminati khalayak.
Salam Said tak bisa berbuat banyak. Ia hanya geleng-geleng kepala ketika teman-temannya di tim rebana, minggat. Dia terpukul telak ketika seorang anggotanya yang muda, Saman Hudi, ditolak mentah-mentah calon mertunya lantaran ia seorang penabuh rebana tak bermasa depan.
Dalam keadaan demikian, pihak-pihak yang seharusnya membantu, seperti pemerintah, entah dimana keberadaannya.
Kisah itu adalah satu adegan dalam monolog Fikri MS berjudul Rebana dari Sanggar Teater Gendhing (STG), Muara Enim, Sumatera Selatan, di Bengkel Teater Rendra, Depok Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Fikri, alumnus pesantren Darul Ulum Jombang ini, mementaskan monolog di beberapa kota; mulai dari Februari hingga akhir Mei. Kota-kota itu diantaranya di Depok, Yogyakarta, Jombang, Kediri, Gresik, Makasar, serta beberapa kota di Sumatera, termasuk Muara Enim, tanah kelahirannya.
Dalam pementasan, pemenang Juara I Kompetisi Liga Monolog Indonesia di STSI Bandung, Jawa Barat ini, dibantu 4 orang kru pendukung yaitu Dodi Irawan, sebagai penata musik, Hendrik K, Adeh Arianto dan Dodi Penalosa pemain musik.
Rebana di Muara Enim
Persoalan dalam monolog Fikri itu, tak lain gambaran tradisi rebana tanah kelahirannya, Muara Enim. Bahkan persoalan umum di setiap daerah. Pegiat seni tradisi rata-rata kalangan tua, dan regenerasi terhambat. Situasinya: orang tua, anak muda dan tradisi dekat namun jauh. Yang tua menunggu, yang muda tak mau tahu.
Dulu, di Muara Enim, rebana dijadikan tetabuhan pengiring arak-arakan dalam berbagai resepsi. Diantaranya pengiring mempelai ke pelaminan, khitanan,syukuran, aqiqah, menyambut tamu besar. Juga pengiring pencak silat kuntaw, seni beladiri yang dipengaruhi Cina.
Arak-arakan itu sambil mendendangkan lagu-lagu Melayu misalnya Yale-Yale, Antan Delapan, atau Candi Bumiayu dan lagu-lagu diambil dari cerita rakyat Melayu, berbasis balas pantun.
Menurut temuan Fikri, rebana di kampungnya ini diperkenalkan Mustofa Kamal dari Timur Tengah. Tradisi ini merupakan tafa’ul pada arakk-arakan menyambut Nabi Muhammad ketika datang di suatu tempat. “Kunci tetabuhan itu menyambut dengan gembira. Esensinya memeriahkan,” ujarnya.
Namun, tradisi ini, hampir mati. “Sebelum mati, saya ingin tahu persoalannya apa,” ungkapnya. Kemudian ia melakukan penelitian ke lapangan dan menemukan banyak data.
“Tepukan rebana di Muara Enim disebut Beulideu. Asal kata Melayu artinya temberang atau berbicara. Maksudnya, tetabuhan rebana itu mengisayaratkan adanya arak-arakan.
“Belideu terdapat 16 ketukan, sampai sekarang pun belum lunas semuanya hingga 16 ketukan. Kalau di Muara Enim dikenal dengan “tum” itu bas dan “ta” itu rytem. Tum ta-tum ta. Tum ta tum ta ta ta tum tum ta ta tum tu tm tum.”
Selain itu Ada yang ta ta ta tum tum ta ta ta tum tum ta ta tum tum ta ta tum tum. “Orang dulu mampu menciptakan 16 variasi ketukan. Padahal itu satu daerah saja,” jelas Fikri sambil menggeleleng-geleng, takjub.
Anak Muda
Fikri yakin, pihak yang paling mungkin diajak bekerja sama adalah anak muda. Hal itu tercermin dalam sosok Ujang Rumansyah dalam monolog itu, “Supaya kalangan anak muda masuk ke dalam tradisi, harus dicari tahu celahnya apa nih? Saya yakin mereka bisa dan punya keinginan untuk masuk, tapi dimana celahnya?”
Ia kemudian mendirikan sanggar bernama Sanggar Teater Gending, “Menarik anak muda itu harus disediakan punya tempat dulu. Kemudian alat–alat musik; gitar, perkusi, biola,” jelasnya. “Kemudian di tempat itulah anak muda di kampungnya berkumpul, mulai dari anak anak SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa.”
Lalu mereka diajak bermain rebana. Tapi dengan kemasan yang berbeda, yaitu dipadu dengan berbagai alat musik lain diantaranya, gitar, dan biola. Tapi tetap, penanda paling kuat adalah rebana.
“Biola, gitar itu kan alat musik luar. Tetapi kan dia mengiring lagu-lagu daerah, ia akan menjadi alat musik daerah. Gitar juga begitu. Rebana tidak bisa ditinggalkan tetapi sangat terbuka dengan berbagai unsur musik,” simpulnya
Dengan sajian semacam itu, tradisi rebana kembali bergeliat, “Arak-arakan di sana jauh lebih panjang lagi. Biasanya hanya mungkin lima atau enam meter. Hari ini sudah 20 meter lagi. Rebana semakin populer, arak-arakan semakin meriah.”
Di sisi lain, tanggapan masyarakat sekitar juga luar biasa,“Mereka nyumbang genset, nyumbang gerobak, nyumbang ide, ‘coba deh pakaiannya begini, begini.’ Masyarakat mendukung. Itulah tradisi, milik bersama, milik masyarakat.”
Kunci menyapa anak muda adalah kepercayaan dan tanggung jawab. Selama ini mereka tidak mendapat kepercayaan atau reward dari guru, dan orang tua di rumah “Selalu dimarahi, dianggap nakal. Maka kasihlah mereka tanggung jawab, supaya mereka betul-betul merasa ada.”
Selain meemopulerkan kembali tradisi rebana di kampungnya, Fikri juga menjadikannya sebagai pengiring musik di Sanggar Teater Gending, termasuk dalam pertunjukan monolog bertajuk Rebana tersebut.
Kreativitas Fikri, senada dengan yang ditegaskan penyair pesantren asal Cipasung Acep Zamzam Noor. Menurutnya, mengapresiasi seni tradisi adalah dengan cara menampilkannya, supaya kembali populer di masyarakat.
"Di Sunda, ada alat musik tradisional bernama Karinding. Kini makin dikenal masyarakat karena sering dipentaskan,” katanya.
Budayawan Lesbumi NU Agus Sunyoto juga menegaskan, tradisi Nusantara harus digerakkan, “karena globalisasi menghendaki leburnya identitas.”
Menurutnya, seluruh budaya Nusantara harus segera direkonstruksi dengan berbagai cara; menginvetarisirnya, menuliskannya, mendokumentasikannya, supaya tradisi itu tetap hidup.
Penulis: Abdullah Alawi