Nasional

Mengapa Perempuan dan Anak Jadi Martir Aksi Teror?

Ahad, 13 Mei 2018 | 12:00 WIB

Jakarta, NU Online
Ledakan bom terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, yakni Gereja Katolik Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna pada Ahad (13/5) pagi tadi. Beberapa saksi mata menyebutkan pelakunya adalah perempuan dengan membawa dua anaknya.

Melihat hal tersebut, pengamat terorisme Robi Sugara menyebut bahwa laki-laki sudah kurang strategis untuk melakukan aksi teror. Hal ini, menurutnya, karena proteksi aparat menyulitkan langkah laki-laki sebagai garis depan.

"Tingkat proteksi dari aparat sendiri yang kemudian menyulitkan laki-laki untuk dijadikan frontline," ujarnya saat dihubungi NU Online, Ahad (13/5) sore.

Meskipun demikian, ia menyebut bahwa kontrol tindakan tersebut tetap berada di tangan laki-laki. "Meski kontrol tetap dari laki-laki seperti kasus sebelumnya perempuan bernama Dian yang gagal melakukan aksi bom bunuh diri," jelasnya.

Makanya, lanjut Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) itu, perempuan dan anak kecil yang dijadikan martir. Hal ini, menurutnya, sudah pernah dilakukan oleh kelompok teroris internasional.

"Kedua taktik ini sudah digunakan oleh kelompok teroris internasional, khususnya ISIS. Tapi, itupun dilakukan di wilayah konflik," katanya.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa karena laki-laki sudah tidak lagi di garis terdepan dalam melakukan aksi, ia bertugas di belakang dalam mendoktrin dan merakit bom.

"Dia menggunakan perempuan untuk menjadi bagian perjuangan itu. Dia mendoktrin, menyiapkan bom dan lain-lain," ucapnya.

Robi juga menyatakan bahwa perempuan yang diajak bergabung dalam aksinya itu bukan saja perempuan baru, melainkan janda eks-teroris yang mati, baik di Suriah ataupun ditembak oleh Densus. "Para lelaki juga memanfaatkan janda-janda eksteroris yang mati karena di Suriah atau ditembak Densus," ujarnya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga mengungkapkan bahwa hal yang terpenting saat ini adalah evaluasi program deradikalisasi dari seluruh elemen. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil.

"Yang paling penting bukan hanya pada evaluasi program deradikalisasi dr pemerintah tapi juga program dari kelompok masyarakat sipil seperti NGO jg harus dievaluasi," pungkasnya. (Syakir NF/Mahbib)


Terkait