Jakarta, NU Online
Dalam menghadapi kondisi di mana tradisi makin tergerus zaman, yang diperlukan adalah melakukan revitalisasi tradisi yaitu menggali berbagai format dan bentuk tradisi dengan segenap nilai dan spirit yang ada di dalamnya yang relevan dan fungsional dengan konteks zaman untuk dikembangkan dan dilestarikan.
Hal itu diungkapkan oleh Budayawan Al-Zastrouw Ngatawi, Sabtu (1/7) merespon kembalinya masyarakat Indonesia ke tanah perantauan setelah melakukan tradisi tahunan, mudik lebaran. Dia menjelaskan pola dan strategi dalam merevitalisasi tradisi agar tetap lestari.
Dia menerangkan, ada dua pola revitalisasi tradisi. Pertama, menjaga nilai-nilai dan spirit yang ada dalam tradisi kemudian mengaktualisasikan dalam format dan bentuk baru. Hal ini terlihat pada tradisi mudik yang terjadi secara massif pada beberapa dekade terakhir sebagai bentuk rekonstruksi dari tradisi silaturrahim lebaran.
“Kedua, mengaktualisasikan spirit dan nilai-nilia tradisi dengan tetap menjaga format dan bentuk asli dari tradisi itu sendiri. Ini terlihat pada tradisi ziarah kubur, silaturrahmi mengunjungi orang tua dan sejenisnya,” jelas Dosen Pascasarjana UNU Indonesia (Unusia) Jakarta ini.
Menurutnya, ada beberapa strategi yang bisa ditempuh untuk revitalisasi tradisi yaitu pertama menjaga agar tradisi memuliki relevansi dengan gaya hidup dan pola pikir serta tuntutan arus modernitas.
Kedua, menjadikan tradisi sebagai alternatif untuk menjawab dan mengisi kekosongan hidup manusia modern. Misalnya derajat kompetisi yang tinggi dan tuntutan hidup yang berat telah menjebak manusia pada pola hidup soliter.
Kondisi ini membutuhkan romantisme hidup komunal sebagai kanalisasi psikologis. Dalam kondisi seperti ini maka tradisi silaturrahim menjadi alternatif atas kekeringan jiwa yang merindukan kebersamaan.
“Inilah yang menyebabkan tradisi mudik dan lebaran bisa menggerakkan manusia secara massif karena menjadi momentum kultural,” kata Zastrouw yang juga Ketua Lesbumi PBNU pada periode 2010-2015 ini.
Ketiga, lanjutnya, menggunakan tafsir agama untuk melegitimasi tradisi secara teologis dan religius. Hal ini pernah dilakukan oleh Wali Songo yang kemudian diikuti oleh para ulama Nusantara.
“Strategi ini penting untuk melawan gerakan fundamentalisme dan puritanisme agama yang anti-tradisi,” terang Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu.
Dalam hal ini, imbuhnya, bisa disosialisasikan dan dikembangkan secara massif pemikiran para ulama klasik seperti yg tercermin dalam berbagai kaidah fiqih dan tasawuf seperti kaidah al 'adah muhakkamah (kebiasaan/tradisi menjadi hukum), konsep mashlahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak ditentukan nash tetapi ia juga tidak bertentangan), dar al-mafaasid muqaddam ala jalb al-mashalih (menolak/mencegah kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan), dan lain sebagainya.
Berbagai kaidah fiqih, tasawuf dan kearifan para ulama nusantara merupakan acuan yang kokoh dalam upaya menjaga dan merevitalisasi tradisi, khususnya tradisi keagamaan.
“Karena bagaimanapun tradisi-tradisi terseut adalah hasil ijtihad para ulama Nusantara dalam upaya mengajarkan Islam pada bangsa Nusantara,” tandas Zastrouw. (Fathoni)