Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal Gerakan Anti-Diskriminasi Indonesia (Gandi) Ari Masyhuri menyatakan, kebijakan lima hari sekolah atau five days school (FDS) ini dapat mencerabut anak dari akar sosial masyarakatnya. Menurutnya, kebijakan diskriminatif ini juga membuat anak tidak mampu engeksplorasi kearifan lokal yang tumbuh berkembang di dalamnya.
Kebijakan 8 jam sekolah dalam sehari, menurutnya, juga dapat mengurangi interaksi anak dengan lingkungan sosial-budaya dan kepekaan sosial di tempat tinggalnya. Kalau pun pemerintah lebih mengorientasikan kebijakan pada persoalan perkotaan, seperti kenakalan remaja, bukan berarti pendidikan hanya ada di sekolah dan kota.
Akan tetapi, imbuh Ari, sebagian besar penduduk di Indonesia masih tinggal di kawasan pedesaan, di mana proses pendidikan yang baik bukan hanya terjadi di dalam sekolah, tapi juga dapat berlangsung di dalam keluarga dan lingkungan sosial-budaya anak-anak tinggal.
“Sebaiknya Kemendikbud meningkatkan pelayanan pendidikan terhadap masyarakat di luar sekolah, sehingga lingkungan sosial-budaya anak-anak menjadi lebih baik. Pelayanan pendidikan bagi ibu rumah tangga atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya, seperti lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, justru memberikan kontribusi penting bagi pendidikan anak-anak, baik dalam sekolah maupun luar sekolah,” usul Ari Masyhuri lewat keterangan tertulisnya, Senin (14/8) di Jakarta.
Selain itu, lanjutnya, kebijakan FDS ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan potensi terjadinya benturan antara penyelenggaraan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan yang dikelola oleh Pemerintah.
Sebagaimana diketahui banyak masyarakat yang menyerahkan pendidikan anaknya tidak hanya di sekolah, tetapi juga menyerahkan pada lembaga pendidikan lain dalam rangka meningkatkan pengembangan anak, seperti kursus keterampilan, kesenian, pendidikan agama, dan lain-lain. Di mana masyarakat lebih mempercayai lembaga-lembaga non-sekolah formal tersebut untuk pengembangan potensi anak-anaknya.
“Dengan adanya kebijakan ini, banyak orang tua menjadi resah karena waktu penyelenggaraan pendidikan non-sekolah formal tersebut diambil oleh sekolah. Sementara sekolah belum mampu dan belum terbukti dapat memenuhi kebutuhan tersebut,” tandas Ari.
Oleh karena itu, menurut Gandi, pemerintah harus mencabut kebijakan Permendikbud 23 tahun 2017 tersebut, alih-alih mengeluarkan Peraturan Presiden yang memperkuat kebijakan FDS dengan bungkus penguatan pendidikan karakter.
Sebab, kebijakan ini sudah jelas diskriminatif dan meresahkan masyarakat. Sebaiknya Pemerintah lebih berkonsentrasi dalam memperbaiki pelayanan pendidikan di sekolah dan luar sekolah yang saat ini masih sangat memprihatinkan. (Red: Fathoni)