Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad menilai, hak angket yang dilayangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlalu dipaksakan.
“Menurut saya DPR salah. Terlalu memaksakan kehendak,” kata Rumadi saat ditemui NU Online di Lantai 2 Gedung PBNU, Selasa (2/5) sore.
KPK memiliki hak untuk memberikan ataupun tidak memberikan informasi yang dimilikinya dan DPR harus memahami akan hal itu. Meski demikian, itu tidak bisa sembarangan karena apabila KPK menyembunyikan informasi pasti ia memiliki argumennya.
“Kalau dalam UU keterbukaan informasi KPK harus melakukan uji konsekuensi. Uji konsekuensi itu adalah argumentasi kenapa informasi itu tidak diberikan,” jelas Komisioner Komisi Informasi Pusat itu.
“Kalau itu memang mengganggu proses penegakan hukum. Sebetulnya KPK dilindungi oleh Undang-undang untuk tidak memberikan informasi itu,” lanjutnya.
Seandainya DPR masih kukuh menuntut transparansi KPK, jelas Rumadi, mereka bisa melayangkan surat resmi kepada KPK. Jika hal itu sudah dilakukan dan KPK tidak mau meberikan informasi, maka DPR bisa mengadukan ke Komisi Informasi.
“Prosedurnya seperti itu. Bisa disengketakan saja KPK ke Komisi Informasi. Nanti yang menilai apakah informasi tersebut berhak diberikan atau tidak adalah Komisi Informasi,” tegasnya.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyayangkan, DPR tidak menempuh prosedur sebagaimana yang dijamin oleh Undang-undang yang ada. Mereka langsung mengajukan hak angket kepada KPK.
“(DPR) lebih mengedepankan aspek politiknya. Sehingga membuat angket dan semacamnya,” ucapnya.
Kasus hak angket DPR bermula dari pengakuan Miryam S Haryani yang mengaku ditekan oleh beberapa anggota DPR agar tidak menyebutkan adanya pembagian uang hasil korupsi e-KTP saat ia menjalani persidangan di pengadilan Tipikor Jakarta. (Muchlishon Rochmat/Abdullah Alawi)