Kriminalisasi Petani Bertentangan dengan Semangat Agraria Pemerintah Jokowi
Senin, 5 Maret 2018 | 10:45 WIB
Jakarta, NU Online
Aktivis Gusdurian Syafi’i Alielha mengatakan bahwa vonis peradilan atas Kiai Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin tidak bisa dipertanggungjawabkan secara logika. Vonis peradilan terhadap dua petani di Desa Surokanto Wetan Kabupaten Kendal merupakan bentuk kriminalisasi terhadap petani penggarap.
Demikian disampaikan aktivis Gusdurian Syafi’i Alielha pada jumpa pers pernyataan sikap PBNU terkait kasus yang menimpa Kiai Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (5/3) sore.
“Saya mewakili Gusdurian nasional Mbak Alissa Wahid yang tidak bisa hadir. Menurut saya, vonis ini semangatnya bertentangan dengan semangat kebijakan Presiden Jokowi pada 2016 dalam mendistribusikan lahan,” kata Syafi’i.
Petani yang selama ini menggarap lahan selama puluhan tahun lalu dikriminalisasi karena tukar guling lahan. Petani penggarap lahan ini yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah Jokowi, kata Syafi’i.
“Vonis 8 tahun dan denda itu mencengangkan. Masyarakat kecil kerap tak berdaya berhadapan dengan hukum,” kata Syafi’i Alielha.
Ia mengatakan, komunitas Gusdurian menyatakan setuju atas penabulan grasi presiden untuk kedua petani yang telah ditahan beberapa bulan lalu.
Sebagaimana diketahui, Kiai Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin divonis delapan tahun penjara dan denda Rp. 10 miliar karena memperjuangkan tanah yang dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1970.
Dukungan untuk petani Kendal ini juga datang dari Komnas HAM RI, Gusdurian, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lakpesdam PBNU, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng, dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
Semuanya mendesak Presiden RI H Joko Widodo agar memberikan grasi kepada Kiai Nur Aziz dan Petani Surokonto Wetan, Kendal, Sutrisno Rusmin. (Alhafiz K)