Yogyakarta, NU Online
Dalam status Facebook-nya beberapa waktu lalu, KH Drs Habib A Syakur, M.Ag, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Imdad Bantul Yogyakarta, menyampaikan kebanggaannya telah berkhidmah kepada Al-Maghfurlah Romo Kiai Zainal Abidin Munawwir sejak awal masuk Krapyak hingga akhir hayat beliau.
Habib menyatakan betapa khidmah sebagai santri beliau tersebut merupakan salah satu bentuk pendidikan yang ia terima. Misal, saat pertama kali mondok di Krapyak, Habib mengisahkan, tidak sedikit pelajaran yang ia petik dari Kiai Zainal.
“Ketika mengarang kitab Muqtathafat min Jawami'i Kalimihi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, kira-kira tahun 1987-an, saya berkesempatan mengetik naskah tersebut di kertas sheet yang zaman itu dipergunakan untuk mencetak,” kenang Habib.
Habib melanjutkan, “Lantaran mengetik naskah kitab itu, ada banyak hal yang saya dapat, mulai dari ilmu yang ada di dalamnya sampai dengan kelancaran saya dalam mengetik teks Arab. Hasilnya, ternyata dari sinilah antara lain yang membuat saya dipercaya untuk mentahqiq beberapa kitab karya ulama nusantara tempo dulu oleh Depag RI.”
Habib yang di masa awalnya nyantri di Krapyak, tahun 1976, sudah ndherek KH Zainal Abidin Munawwir dan menempat di salah satu kamar di ndalem beliau. Waktu itu satu rumah masih ditempati bersama Al-Maghfurlaha Simbah Nyai Hajjah Sukis (istri kedua Romo Kiai Munawwir, ibunda KH Zainal Abidin Munawwir, Ny. Hj. Hasyimah dan KH Ahmad Warson Munawwir), Ny. Hj. Jamalah (almh) bersama dua anaknya, dan keluarga baru Al-Maghfurlah KH A Warson Munawwir.
Habib juga mengisahkan, “Waktu itu, beliau masih menjadi anggota DPRD DIY dari Partai Nahdlatul Ulama. Yang istimewa, kalau ke kantor DPRD di Bantul, beliau naik sepeda onta lanang. Beliau sama sekali tidak kesengsem dengan kendaraan sepeda motor yang biasa dipakai oleh para anggota DPRD pada saat itu.”
Kesederhanaan dan kehati-hatian Al-Maghfurlah Romo Kiai Zainal dalam masalah harta memang sudah sedari awal didengar Habib dari Al-Maghfurlaha Simbah Nyai Sukis. “Misalnya ketika beliau ndherekke ziarah haji ibundanya di tahun tujuh puluhan. Ternyata, berdasarkan kisah Nyai Sukis kepada saya, waktu mendaftar haji itu ternyata beliau menabung dengan mengumpulkan uang di dalam besek yang disimpan di atas pyan atau loteng. Sungguh sebuah perbuatan yang penuh dengan kehati-hatian.”
Habib juga tak lupa pesan terakhir beliau kepadanya sebelum beliau wafat menghadap Yang Maha Kuasa. Habib menyatakan bahwa pesan tersebut hampir mirip dengan pesan KH Ali Maksum ketika beliau memerintahkannya untuk membaca kitab di hadapan para santri.
“Pesan Pak Zainal kepada saya, ‘Bib... kowe kudu istiqamah anggonmu mulang. Aja nganti semangatmu kendho nek sing tok wulang ki ming sithik, wong siji loro’ (Bib, kamu harus istiqamah dalam mengajar. Jangan sampai semangatmu kendur jika yang kamu ajar itu hanya sedikit, satu atau dua orang saja-red.),” ujar Habib.
“Sementara pesan Pak Kiai Ali Ma’sum, ‘Atimu kudu padha antarane mulang wong siji karo wong sewu. Aja rumangsa luwih wibawa yen mulang wong sewu’ (Hatimu harus sama antara ketika mengajar satu anak dan seribu anak. Jangan merasa lebih berwibawa saat mengajar seribu orang-red.),” lanjut Habib. (Yusuf Anas/Abdullah Alawi)