Jombang, NU Online
Sejarawan Choirul Anam mulai menjelaskan pergerakan KH Wahab Chasbullah tidak dari jasa atau karyanya, tapi membidik pada pergaulannya. Kiai Wahab berbekal ragam ilmu dan pendidikan pesantren, tidak kemudian menutup diri hanya bergaul dengan kiai-kiai, melainkan lintas batas.
<>
“Mbah wahab itu kalau saya mengatakan, beliau itu ulama lintas batas,” katanya pada Sarasehan dan Launching Buku KH Wahab Chasbullah, Kaidah Berpolitik dan Bernegara karya H Abdul Mun’im DZ. Launching yang digelar di Aula Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Rabu (3/9) tersebut dalam rangka Haul Kiai Wahab yang ke-43.
Jadi, kata pria yang akrab disapa Cak Anam ini Kiai Wahab bergaul dengan kalangan nasionalis seperti Dr Soetomo yang melahirkan Budi Utomo. Kiai Wahab aktif dan sering jadi pembicara kunci di kelompok Indonesiche studieclub (kelompok diskusi Dr Soetomo).
Anam menambahkan, Kiai Wahab bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai kalaingan juga. ia bergaul dengan Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto. Bahkan pernah menjadi sekretaris organisasi itu di Mekkah dengan ketuanya KH Asnawi Kudus (sebelum NU berdiri). Ia bergaul dengan KH Mas Mansur yang kemudian jadi tokoh Muhammadiyah. Bergaul dengan Ir Soekarno yang kemudian jadi presiden pertama Indonesia.
Anam juga menyebut pergaulan Kiai Wahab dengan kalangan pendekar pencak. “Dan kalau ada pendekar-pendekar kuat itu mesti diajak bertarung. Ditanya sama Kiai Abdul Halim, kok suka bertarung begitu lho,” katanya.
Dalam hal ini menurut Anam, Kiai Wahab menyuruh belajar ilmu silat supaya tidak kalah dengan pendekar yang tarikus shalat (meninggalkan shalat). “Jadi memang lincah. Badannya kecil, tapi lincah,” katanya.
Pergaulan Kiai Wahab juga dengan para pedagang. Menurut Cak Anam, dari pergaulan itu, Kiai Wahab melihat pedagang Cina, Belanda, Arab dan sebagainya mengusai komoditi, sementara petani-petani yang menjual komoditinya dalam keadaan melarat. Ini yang kemudian akan mempengaruhi Kiai Wahab dalam pemikiran dan pergerakannya.
Sejarawan Anhar Gonggong menyebut pergaulan Kiai Wahab itu dengan dialog. “Ada hal yang menarik dalam konteks sekarang itu sering dilupakan, beliau memulai organisasinya dengan mengajak untuk pandai berdialog dan ini sangat penting,” katanya.
Sejarawan Universitas Indonesia ini menmbahkan, negara Indonesia dibentuk karena dialog. Sepak terjang Kiai Wahab waktu itu, menguatkan pendapatnya bahwa para pemimpin pergerakan untuk mencapai kemerdekaan dilakukan dengan dialog. “Saya baru menangkap, yang berdialog itu tidak hanya orang-orang sekuler, justru pendiri-pendiri organisasi agama juga berdialog. Nah, itu poin yang sangat penting,” tukasnya.
Sementara Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Abdul Mun’im DZ pada buku yang dibedah saat itu, KH Abdul Wahab Chasbullah, Kaidah Berpolitik dan Bernegara, menulis, sepulang dari belajar di Makkah, Kiai Wahab memilih tinggal di Surabaya. Waktu itu, kota tersebut merupakan salah satu kota dagang dan industri besar di Asia sehingga Kiai Wahab bergaul dengan berbagai kalangan.
Ditemui selepas sarasehan, salah seorang putri Kiai Wahab, Ny Mhafudloh Ali Ubaid menyebutkan, ayahnya meski tokoh besar kaliber nasional, menyempatkan diri bergaul dengan masyarakat. “Jadi kalau ada orang PBNU mau bertamu, beliau belanja ke pasar sendiri naik dokar,” kenangnya di kediaman Kiai Wahab di Tambakberas.
Putri ketujuh Kiai Wahab, Ny Khjibiyah Rachim membetulkan keterangan kakaknya. Ia menjelaskan pergaulan Kiai Wahab ketika di rumahnya. “Ini ruangan ini tak pernah telat dari tamu. Beliau datang, setiap malam ada tamu. Tiap hari terus begitu. Tamu dari NU dari mana saja, mengadu masalah segala macam. Saya habis sekolah suka dengerin,” ungkapnya di tempat yang sama.
Sementara dari pergaulan di pesantren sendiri Kiai Wahab dikenal sebagai santri kelana. Ia bergaul dengan lingkungan satu pondok dan pondok lain, dari satu kiai ke kiai lain, dari satu ilmu yang lain.
Pada buku yang diterbitkan panitia, KH Abdul Wahab Chasbullah, dari Pesantren untuk Indonesia, disebutkan, setidaknya Kiai Wahab pernah nyantri di pesantren Langitan (Kiai Ahmad Sholeh), Mojosari (KH Zainuddin), Cempaka, Tawangsari, Sepanjang (KH MS Ali dan KH Ms Abdullah), Bangkalan (Syekh Kholil), Branggahan (KH Faqihuddin), Tebuireng (KH Hasyim Asy’ari).
Pada waktu di Makkah ia menuntut ilmu Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syekh Ahmad Khotib Minangkabau, Kiai bakir Yogyakarta, Kiai Asyari Bawean, Syekh Said Yamani, Syekh Abdul Hamid Kudus, Syekh Umar Bajened. Dari beragam pesantren dan kiai itu, Kiai Wahab belajar lintas ilmu pengetahuan.
Dari pergaulan KH Wahab dan ilmu yang diserapnya, ia mendirikan Nahdlatul Wathon, mendirikan Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, koperasi muslimin, salah seorang yang mendorong lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama.
KH Wahab Chasbullah lahir dari pasangan KH Chasbullah dan Ny Lathifah di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada Maret 1888 M. Sejak kecil dididik ayahnya mengaji dan diperkenalkan pada kitab-kitab kuning. (Abdullah Alawi)