Banjarbaru, NU Online
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menyebutkan, mahar politik termasuk ke dalam kategori suap atau risywah. Oleh karenanya, hukum mahar politik adalah haram.
“Mahar politik, uang bensin, atau apapun itu namanya itu tidak dibolehkan dalam bentuk apapun,” tegas Kiai Ma’ruf di Pesantren Al-Falah Banjarbaru, Rabu (9/5).
Sejauh ini, praktik mahar politik wajar terjadi dalam proses mendapatkan jabatan publik, utamanya kepala daerah. Untuk mendapatkan ‘tiket’ dari partai politik, biasanya para calon kepada daerah harus menyerahkan sejumlah uang.
Bagi Rais Aam PBNU ini, apapun alasannya mahar politik tidak bisa dibenarkan. Alasannya, jika praktik mahar politik ini diteruskan maka yang terpilih menjadi kepala daerah atau menduduki jabatan publik lainnya bukan orang yang terbaik, tetapi orang yang berduit.
“Dengan mahar politik, orang terbaik tidak jadi terpilih,” ujarnya.
Kiai Ma’ruf menambahkan, baik yang memberikan atau pun yang menerima mahar politik sama-sama tidak bisa dibenarkan. Baginya, siapapun memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi kepala daerah atau menduduki jabatan publik lainnya, bukan hanya yang memiliki uang saja.
Isu mahar politik terus mencuat, terutama saat tahun-tahun politik. Dalam banyak pemberitaan, ada beberapa calon kepala daerah yang terang-terangan mengungkapkan bahwa untuk maju pemilihan kepala daerah mereka harus menyerahkan mahar politik ke parpol tertentu. Namun demikian, banyak elit partai yang menyangkal adanya praktik mahar politik.
Sesuai penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2016, rata-rata calon wali kota atau bupati mengeluarkan uang Rp20-30 miliar. Sementara, calon gubernur sekitar Rp100 miliar. Dana tersebut digunakan untuk honor saksi di tempat pemungutan suara dan logistik kampanye. (Muchlishon)