Jakarta, NU Online
Kehadiran internet dan media sosial telah merobohkan bangunan pembatas antar wilayah, memengaruhi segala tata kehidupan, termasuk mengubah cara pandang dan perilaku keagamaan penggunanya.
Sikap sekelompok orang, yang dalam memahami Islam secara konservatif atau konservatisme Islam, yang sebelumnya menumpuk di kota, sekarang sudah masuk ke jantung-jantung desa.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir seusai mengisi Diskusi Publik di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (28/3) mengatakan, kehadiran internet dan media sosial telah mengubah banyak hal. Termasuk memengaruhi konstelasi politik dan keagamaan.
"Pembatas desa dan kota yang dulu dianggap menjadi pemisah dalam hal menginternalisasi nilai-nilai keagamaan, informasi, sekarang sudah tidak relevan lagi," katanya.
Ia mengatakan, selama seseorang mempunyai akses terhadap Internet, maka siapapun itu bisa memperoleh informasi yang sama.
Menurutnya, kehadiran internet yang tidak terpikirkan oleh banyak kalangan masa lalu dan sekarang merasuki kehidupan masyarakat, membuatnya menjadi tantangan bagi nahdliyin pada umumnya, dan tokoh NU khususnya.
"Kiai dan NU ditantang oleh instrumen media sosial dan internet," ujarnya.
Para kiai dan tokoh NU harus memaksimalkan keberadaan internet dan media sosial sebagai instrumen mengisi pengajian dan menyebar informasi keagamaan. Hal itu agar penyebaran informasi dan pengajian tetap relevan, dan punya pengaruh di tengah komunitasnya.
"Meskipun bentuknya sama, ngajinya sama, kitabnya sama, tapi medianya saya kira harus baru,” katanya. Kalau tidak seperti itu, maka relevansi NU bagi komunitas sendiri bisa dipertanyakan. Dan tantangan ini sebagai sebuah hal yang tidak terelakan sekarang. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)