Jakarta, NU Online
Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan fakta baru yang mengejutkan terkait lonjakan angka perceraian dalam rumah tangga warga negara Indonesia. Fakta ini cukup mengejutkan karena terkait politik jelang pemilu 2014 dan lain aspirasi.
<>
"Ada data baru yang mengejutkan bahwa menjelang pemilu 2014, kini angka perceraian cenderung meningkat karena perbedaan politik antara suami dan istri," kata Khofifah dalam acara rapat koordinasi antara Muslimat NU dan BKKBN di kantor BKKN, Jakarta Timur, Senin (23/12).
Menteri Pemberdayaan Perempuan era Gus Dur ini mengatakan, sebelumnya pada tahun 2008 perceraian yang disebabkan perbedaan politik dalam keluarga menempati peringkat 13. "Jadi dalam waktu 4 tahun, angka perceraian gara-gara politik ini meningkat tajam," terangnya.
Fakta yang mengejutkan lagi, terang Khofifah, gugatan cerai lebih banyak dilakukan pihak istri. "Itu terjadi di kota-kota besar. Angkanya bahkan bisa tembus 70-80 persen," katanya.
Dari data itu, katanya, dapat disimpulkan bahwa suhu politik di tanah air yang memanas jelang pemilu ternyata masuk ke dalam rumah tangga. "Perceraian terjadi bukan hanya karena kekerasan dalam rumah tangga dan perselingkuh saja. Masalah politik termasuk penyebab utama," tegas Muslimat NU.
Khofifah mengungkapkan, dirinya beberapa kali bertemu dengan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar yang punya data perceraian. Inti dari pertemuan itu menyimpulkan, problem rumah tangga masyatakat Indonesia sangat rumit.
Kalau sudah rumit begini, Muslimat NU tidak bisa sendirian untuk mengatasinya. Harus ada sinergi dan keseriusan dari semua pihak terkait. Dan, harus ada gerakan bersama yang langsung dipimpin presiden, tambah Khofifah.
Ia melanjutkan, Indonesia bisa meniru Malaysia yang punya gerakan ketahanan keluarga. "Gerakan itu bahkan dipimpin langsung Perdana Menteri," tandas Khofifah. (Ahmad Millah/Alhafiz K)