Jakarta, NU Online
Ketua Badan Nasional Penanggunlangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menilai, keluarga memiliki peran yang strategis dalam mencegah dan mengurangi tindakan radikalisme. Baginya, pada dasarnya radikalisme itu tidak bisa dideteksi karena itu adalah ideologi. Namun demikian, kalau setiap orang waspada, maka radikalisme bisa diidentifikasi.
“Biasanya guyub, terus tidak pernah keluar rumah dan terus-terusan berada di depan komputer. Ini juga harus kita waspadai,” katanya saat menjadi narasumber dalam acara diskusi publik dengan tema Radikalisme di Timur Tengah dan Pengaruhnya di Indonesia di Auditorium Gedung PPSDM Jakarta, Sabtu (22/7) sore.
Target-target terorisme, jelas Suhardi, adalah tempat-tempat yang ramai seperti swalayan, terminal, dan tempat kerumunan orang. Baginya, diantara suksesnya aksi teror adalah karena kewaspadaan orang-orang masih kurang.
“Seharusnya kita menguatkan kewaspadaan kita. Misalnya ada orang yang menerobos prosedur untuk diperiksa saat memasuki suatu tempat seperti bandara, gedung, dan lainnya,” jelasnya.
Ia menceritakan, paham-paham radikalisme sudah masuk di dunia perkuliahan. Bahkan ada pejabat kampus seperti Dekan dan akan diangkat menjadi Rektor menjadi simpatisan daripada ISIS.
“Kemudian saya laporkan ke Menristek, kemudian dicopot setelah ditelusuri betul bahwa memang ada hubungannya dengan ISIS,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa kelompok-kelompok teroris berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat markas mereka untuk wilayah Asia Tenggara. Namun karena pemerintah bergerak cepat dan tegas, maka mereka bergeser ke wilayah Filipinan.
“Poso pernah mau dijadikan pusat ISIS di Asia Tenggara, tapi karena polisi dan TNI kuat maka mereka bergerak ke Filipina Selatan, Marawi,” ungkapnya. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)