Nasional

Kearifan Lokal Dorong Semangat Kemejmukan Masyarakat

Ahad, 31 Agustus 2014 | 03:01 WIB

Kudus, NU Online
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat merupa praktik kebudayaan. Budaya hadir membedakan manusia dengan binatang yang hanya hidup mencari makanan dan pasangan. Budaya diolah dari pemberdayaan akal budi manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Namun seiring berkembangnya teknologi dan informasi, pelbagai kearifan lokal kian ditinggal masyarakat.
<>
Kearifan lokal selayak gotong royong, tutur sapa, tepa salira, dan yang lain, telah banyak ditinggal terutama pada masyarakat kota. Tanpa sadar ternyata kita pun kehilangan akar pluralisme sehingga begitu mudah terjadi gesekan dan akhirnya konflik komunal. Ini terjadi baik atas nama kelompok agama maupun lainnya.

Hal itu disampaikan oleh Saiful Anas, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pada sarasehan bertajuk “Catatan Perjalanan SARA di Indonesia: Pembauran dan Toleransi sebagai Jalan Keluar Mengatasi Sentimen Rasial”, Jumat (29) di gedung Majlis Wakil Cabang NU (MWCNU) Kecamatan Gebog, Kudus, Jawa Tengah.

“Membudayakan pelbagai kearifan lokal tersebut merupakan bagian dari komunikasi politik sosial, yang sekaligus mampu meminimalisir konflik atau gesekan lokal. Ini serupa kasus yang terjadi di Sampang Madura,” papar Saiful Anas yang juga pengurus Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh NU (LAZISNU) Kudus.

Kaitan dengan konflik agama, Anas menawarkan konsep pluralisme. Namun pluralisme yang dimaksud tak lantas membiarkan kelompok berideologi selain Ahlussunnah Waljama’ah, bebas semaunya.

“Perlu dipahami bahwa konsep pluralisme bukan berarti membiarkan mereka bebas. Silakan mereka berkembang, tapi jangan sekali-sekali ngaru-aru ideologi Aswaja dan kebangsaan kita. Jika sudah begitu, silakan hidup bersama, memberikan hak kepada mereka sebagaimana mestinya. Baik untuk beribadah, berinteraksi, bernegara. Itu namanya pluralisme,” tutur Anas.

Menurutnya, wilayah Kudus sudah sangat rawan terjadi konflik atas nama agama. Selain NU dan Muhammadiyah, di Kudus telah muncul pelbagai aliran Islam keras. Beberapa yang sudah diketahui di antaranya ialah, NII, HTI, FPI, dan terakhir muncul juga gerakan ISIS.

Anas pun membongkar betapa perpecahan umat Islam tersebut merupa strategi pihak asing terkait politik, utamanya politik ekonomi. Disebutkan bahwa ISIS merupa gerakan pemberontakan terhadap pemerintah Syiria yang didanai oleh Eropa dan Amerika. ISIS menjelma alat mereka untuk meraih kuasa atas sumberdaya alam Syiria, yakni minyak bumi.

“Gerakan semacam itu, korbannya adalah orang-orang yang bodoh soal agama. Mereka tidak paham tapi sok mengerti tentang agama. Kebanyakan adalah lulusan lembaga pendidikan umum, dan setiap belajar agama hanya memanfaatkan pelbagai link di internet. Mereka yang tidak mau belajar dari kitabnya para ulama, akhirnya ya seperti itu,” jelas Anas.

Meski terdapat dampak politik yang mengarah pada perpecahan, namun Asyrofi Masyitho, pengurus Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Kudus, mengatakan bahwa orang NU mesti mau memasuki dunia politik. Dengan catatan, mampu mengedepankan nilai-nilai kebaikan.

“Perpecahan umat Islam sejak awal hingga muncul pelbagai firqoh memang tidak lepas dari persoalan politik. Sampai sekarang pun masih persoalan politik, seperti ISIS. Bahkan Indonesia berdiri juga karena politik. Maka bukan berarti bahwa politik itu harus dihindari. Tapi sebaliknya, politik layak dimasuki dengan mengedepankan nilai-nilai kebaikan,” papar Asyrofi yang juga mantan ketua DPRD Kudus saat Gus Dur menjabat Presiden.

Acara sarasehan ini terlaksana atas kerja sama antara Pimpinan Cabang IPNU-IPPNU Kudus dengan pihak LSM El-Quds Studies dan Dirjen Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Kementrian dalam Negeri Republik Indonesia. Selain kedua narasumber tersebut, hadir Henri Dwi Prastowo (atas nama Kesbangpol) dan Miftahul Arif (Ketua El-Quds studies). (Istahiyyah/Mahbib)


Terkait