Nasional

Jebloknya Aparat Peradilan Akibat Moralitas Runtuh

Ahad, 24 Maret 2013 | 06:26 WIB

Semarang, NU Online
Keluarga besar Nahdlatul Ulama menyampaikan keprihatinan mendalam atas tertangkapnya Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Stabudi Tedjocahyono oleh KPK, atas dugaan menerima suap terkait perkara yang ditanganinya. Aspek moralitas yang runtuh dinilai menjadi penyebab aparat peradilan justru terjerat perkara hukum. <>

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Prof. Dr. Arvin Hamid, menyebut indikasi runtuhnya moral aparat peradilan sehingga terjerat perkara hukum, di antaranya tampak dari serangkaian peristiwa yang menjerat sejumlah hakim belakangan ini. 

"Jadi jika seseorang gagal menegakkan keadilan, padahal dia memiliki otoritas di bidang penegakan hukum, itu indikasi runtuhnya moralitas bangsa, termasuk moralitas aparat peradilan," kata Arvin dalam cara Sulaturahmi Nasional Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (MA IPNU) di Semarang, Sabtu (23/3). 

Arvin menambahkan, jika tidak segera dibenahi runtuhnya moralitas bangsa ini dikhawatirkan akan semakin memperparah buruknya kinerja penegakan hukum. 

"Peradaban kita masih jauh dari kata maju, karena penegakan hukum masih bersifat formalistik dan menafikan aspek moralitas. Ini harus segera dibenahi, yang mana dibutuhkan gerakan kuat untuk melawan korupsi yang melibatkan seluruh komponen bangsa," tambah Arvin. 

Ketua Presidium MA IPNU Hilmi Muhammadiyah, mengatakan NU sebagai ormas berbasis massa Islam terbesar di Indonesia tidak tinggal dia dengan kondisi tersebut. Penguatan bidang ekonomi dan pendidikan dinilai dapat dilakukan, sebagai salah satu cara dalam upaya perbaikan. 

"Pascamuktamar ke 32 di Makasar tahun 2010 lalu, sudah berdiri 32 pondok pesantren di lingkungan NU. Sudah lahir lebih dari 120 doktor dari kaader-kader muda NU, yang semua kini sudah disebar ke berbagai perguruan tinggi se Indonesia. Program taktis ini merupakan bagiaan dari konsen NU ikut memperbaiki moralitas bangsa," tegas Hilmi. 

Jika soliditas kader NU bisa terus dijaga, kata Hilmi, capaian dalam upaya membantu perbaikan moralitas masih dapat terus ditingkatkan. "Membangun dan memperbanyak pesantren itu jauh lebih baik, dibandingkan metode pengkaderan yang dijalankan Ikhwanul Muslimin" tuntasnya. 

Silaturahmi Nasional MA IPNU dilaksanakan di Semarang, Jumat - Sabtu (22-23/3), dihadiri oleh utusan dari 13 provinsi dan 100 kota/kabupaten se Indonesia. Beberapa rekomendasi bidang hukum, ekonomi dan pendidikan yang dihasilkan dari forum tersebut akan diserahkan ke PBNU dan pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

MA IPNU, antara lain mendorong percepatan dan penuntasan rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang berbasis pada norma hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Ketua Umum Presidium MA IPNU H Hilmi Muhammadiyah menilai KUHP yang ada saat ini merupakan produk Belanda dan bersumber dari tata nilai yang berbeda dengan tata nilai yang hidup di tengah masyarakat Indonesia sehingga sangat terlambat untuk segera diganti.




Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Samsul Hadi-Qomarul Adib


Terkait