Jakarta, NU Online
Ketua Umum PP ISNU Ali Masykur Musa mengatakan secara alamiah, Indonesia adalah negeri yang rawan bencana laam, tetapi kesadaran antisipasifnya sangat rendah sehingga pemerintah selalu gagap dan lamban mengantisipasi begitu bencana terjadi.<>
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi panel ahli PP ISNU di Gedung PBNU, Selasa (11/2) dengan tema “Indonesia: Peta Bencana dan Antisipasi”. Hadir sebagai narasumber Mayjen (pur) Syamsul Maarif (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ari Muhammad, sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim (NDPI), dan Budi Situmorang, direktur tata ruang wilayah nasional Kementerian Pekerjaan Umum.
Ali Masykur mengatakan, rendahnya kesadaran terhadap potensi bencana juga ditunjukkan oleh rendahnya kesadaran terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Setiap hari Indonesia menggerogoti daya dukung lingkungan dengan merusak alam. Hutan dibabat, gunung digusur, ruang terbuka hijau dirangsek, daerah resapan air dikonversi menjadi gedung, mal dan perumahan. Rencana Tata ruang Wilayah (RT/RW) tidak diimplementasikan secara konsisten.
Jika kondisi ini tidak dihentikan, Ali Masykur yang juga menjabat sebagai Ketua Pelaksana Kelompok Kerja Audit Lingkungan se-Dunia (WGEA) ini, Indonesia akan berubah dari “tanah surga” menjadi “tanah negaraka”. Siklus bencana akan menghantui Indonesia setiap tahun. Hasil pembangunan yang dicapai dengan susah payah akan sirna dalam sekecap.
Syamsul Maarif dalam kesempatan tersebut mengatakan, bencana bisa dikelola atau terdapat manajemen bencana. Pada jenis bencana yang tidak bisa diatasi seperti gunung berapi, maka mau tidak mau harus menjauh saat potensinya meningkat, atau hidup harmoni dengan bencana seperti di kawasan Merapi Yogyakarta. Penduduk disiapkan jalur-jalur evakuasi dan pemahaman potensi bencananya. Di Makassar, penduduk membangun rumah panggung untuk mengantisipasi banjir yang seringkali datang.
Ari Muhammad mengatakan, perubahan iklim bukan isu lingkungan semata, tetapi harus dimasukkan dalam isu pembangunan karena bencana yang terjadi membuat capaian pembangunan hilang dalam sekejap. “Kita harus mampu mengukur, misalnya, apa pengaruhnya kenaikan suhu udara dengan kerentanan masa depan,” katanya.
Jika persoalan-persoalan tersebut tidak diselesaikan, ongkos yang harus dipikul di masa depan akan semakin mahal karena saat ini saja kualitas lingkungan sudah rusak. (mukafi niam)