Nasional

Inilah Hasil Rumusan Mudzakarah Nasional Perhajian Indonesia 2017

Senin, 1 Mei 2017 | 03:01 WIB

Inilah Hasil Rumusan Mudzakarah Nasional Perhajian Indonesia 2017

Foto: Ilustrasi

Pringsewu, NU Online
Mudzakarah Nasional Perhajian Indonesia tahun 2017 yang berlangsung selama tiga hari, 28-30 April 2017 di Jakarta berhasil merumuskan beberapa hal terkait masalah aktual dan fikih haji wanita. Rumusan masalah ini dijelaskan oleh Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Provinsi Lampung KH Munawir yang ikut serta dalam mudzakarah tersebut.

Beberapa pembahasan dalam mudzakarah tersebut di antaranya haji bagi wanita haid, waktu melempar jumrah, menjama' dan mewakili pelontaran jumrah, memulai ihram, mabit di tanah perluasan Mina (Mina jadid).

"Semua amalan haji atau umrah dapat dikerjakan oleh jamaah wanita yang sedang haid kecuali thawaf," kata Kiai Munawir, Ahad (30/4).

Imam Syafii mensyaratkan suci dalam thawaf sehingga wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan thawaf. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Ibnu Taimiyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tidak harus dalam keadaan suci.

Untuk waktu melontar jumrah dimulai pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah mulai setelah terbitnya fajar yang disebut dengan waktu fadilah sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Sedang ulama madzhab memperbolehkan pelontaran jumrah dimulai setelah tengah malam.

"Untuk waktu melontar jumrah hari-hari tasyriq dimulai setelah tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari atau disebut waktu fadhilah. Sedang sebagian ulama ada yang memperbolehkan melontar setelah terbitnya fajar dan melontar jumrah sebelum terbitnya fajar tidak diperbolehkan," terangnya.

Sedangkan untuk hukum menjamak dan mewakilkan melontar jumrah diperbolehkan. "Dengan catatan tidak melontar sebelum waktunya, tanggal 10 boleh dijamak dengan tanggal 11 atau 12 atau 13, tidak boleh tanggal 11, 12 dilontar tanggal 10," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung ini.

Sementara hukum memulai ihram, bagi jamaah haji yang langsung ke Mekkah boleh mengambil miqat yang telah ditentukan Syar‘i, Yalamlam atau dari Jedah. Jamaah haji dari Madinah bisa mengambil Miqat di Bir Aly.

Terjadi beda pendapat ulama tentang hukum mabit di Mina. "Pendapat yang mu'tamad wajib, dan ada yang berpendapat sunah. Jika mengikuti pendapat yang wajib, maka mabit di perluasan Mina tidak sah kecuali ada udzur syar'i dan konsekuensinya membayar dam. Jika mengikuti pendapat yang mengatakan sunah, maka mabit di perluasan Mina tidak wajib membayar dam," jelasnya.

Sementara hukum yang lain seperti diperbolehkan badal thawaf ifadhah bagi jamaah yang sakit. Argumentasinya, mewakilkan ibadah haji secara keseluruhan diperbolehkan, maka mewakilkan sebagian dari rukunnya juga diperbolehkan.

"Diperbolehkan juga menggabungkan thawaf ifadhah dan thawaf wada bagi jamaah haji yang punya udzur," pungkasnya. (Muhammad Faizin/Alhafiz K)


Terkait