Nasional

Ini Tantangan Mempromosikan Islam Nusantara menurut Pakar Radikalisme Eropa

Kamis, 12 Mei 2016 | 04:01 WIB

Ini Tantangan Mempromosikan Islam Nusantara menurut Pakar Radikalisme Eropa

Forum Isomil yang mengangkat tema besar Islam Nusantara.

Jakarta, NU Online
Islam Nusantara yang menjadi tema besar kegiatan International Summit of The moderate Islamic Leaders menarik perhatian para ulama, narasumber internasional, dan pemimpin dunia Islam yang hadir dalam forum yang digelar Senin-Rabu (9-11/5) di JCC Senayan Jakarta. Salah satunya oleh Dr Nico Prucha, salah satu narasumber forum. 

Dosen muda Universitas Wina Austria tersebut berpendapat bahwa Islam Nusantara adalah prinsip yang mengedepankan pluralitas. Ia memiliki anggapan bahwa untuk mempromosikan Islam Nusantara ke penjuru dunia itu susah-susah gampang. Mudahnya adalah karena Barat membutuhkan pemahaman yang berbeda tentang Islam, dan itulah yang akan menyadarkan mereka bahwa ISIS hanya sebagian kecil saja daripada Islam.

Adapun sulitnya, lanjut Pakar Radikalisme dari Department of War Studies ICSR (The International Center of The Study Radicalisation and Political Violence) yang berbasis di London itu, adalah karena Barat kurang percaya dan bertindak rasis terhadap Islam. Oleh karenanya, pria yang fasih berbahasa Arab tersebut melihat bahwa itulah tantangan-tantangan yang harus NU hadapi untuk mempromosikan dan menyebarkan Islam yang moderat, Islam Nusantara.

Menurutnya, strategi untuk mempromosikan Islam Nusantara adalah dengan mengakui bahwa Islam memiliki masalah sebagaimana fenomena ISIS yang mencuplik dalil-dalil dari Al-Quran, Hadis, dan Fiqih sebagai dasar pergerakan mereka. 

“Dan juga lebih aktif lagi menyuarakan tentang Islam Nusantara kepada dunia,” tutur Nico.

Ia mencontohkan bahwa praktik-praktik toleransi dan pluralisme yang terjadi di Indonesia seharusnya menjadi pelajaran bagi Barat bahwa Islam itu adalah agama yang cinta damai dan bisa hidup harmonis meski dalam perbedaan.  

“Muslim Indonesia yang rela untuk menjaga Borobudur dan memahami umat Budddha. Ini lah seharusnya yang menjadi rujukan orang-orang kita, pemerintahan-pemerintaham kita,” harap Nico.

Ia menilai bahwa untuk mengahalau gerakan-gerakan ekstrimisme tidak lah cukup dengan menggunakan kekuatan, harus ada pendekatan budaya, pendidikan, dan praktik-praktik toleransi yang terus digulirkan.

“Menghadapi ISIS tidak cukup dengan kekuatan senjata berat saja,” tandasnya. (Muchlishon Rochmat/Fathoni) 


Terkait