Ki Joko Wasis berencana akan melukis jalan kaki sampai ke negeri Tionghoa. Salah satu tempat yang dituju adalah kampung halaman Cheng Ho. Menurut dia, Cheng Ho ke Nusantara dengan menggunakan kapal laut, ia dengan dengkul.
<>
Menurut dia, mulanya ingin ke India, tapi ke negara tersebut tidak ada haditsnya. Sementara ke Tionghoa (Cina) ada. “Kalau ke Cina itu saya pernah dengar haditsnya,” katanya ketika ditemui di Taman Suropati beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan kualitas hadits itu apa mutawatir, ahad, daif, tapi jawabannya macam-macam. Intinya hadits itu populer. “Kalau hadits itu disebutkan ke Amerika, saya kejar itu,” katanya sambil ngekek terkekeh-kekeh. “Tapi, setelah di Cina, saya juga ingin ke Arab, mungkin melukis kaligrafi,” tambahnya.
Di samping itu, ia juga menceritakan asal-usul ke negara tersebut, gara-gara nonton televisi. Televisi tersebut sedang menayangkan ada orang yang naik sepeda sampai ke cina. “Saya lacak nomornya, ketemu, ngobrol-ngobrol, saya juga ingin ke sana,” katanya sambil menunjukkan paspor.
Untuk menjalankan misinya, ia berencana akan membawa tiga teman. Satu orang pengendara motor, satu penulis, dan satu kameramen. “Udah ada ancer-ancer yang siap ikut adalah Jawir dan Pak Bahar,” katanya.
Menurut dia, motor digunakan untuk menyeret gerobak dengan pelan. Gerobak itu berfungsi untuk istirahat serta alat-alat lukis. Di belakangnya ada alat yang bisa ditempelkan kanvas. Sambil berjalan kaki, ia akan melukis.
Menurut dia, di setiap negara yang terlewati, ia akan melukis keadaan sekitar dan kepala negaranya. Kemudian meminta bertemu Dubes RI untuk membantu memberikan lukisan tersebut kepada yang bersangkutan.
Ditanya perbekalan, dia mengaku tidak punya uang sama sekali. “Makan saja sering dibantu teman-teman. Modal keyakinan saja,” katanya. “Yang jelas paspor itu udah siap. Nyicillah bahwa saya serius.”
Ia menambahkan, soal makan ditanggung gusti Allah. Modalnya sabar saja. Karena berdasarkan pengalamannya melukis jalan kaki, meski tak punya uang, ia masih hidup sampai sekarang. Jika seharian tak makan, maka setelah magrib pasti ada yang memberi. Paling telat setelah isya. “Berdasarkan pengalaman, yang kita butuhkan tiba-tiba hadir saja. Misalnya kalau ada driver kecapaian, ada saja orang yang mengganntikan,” tambahnya.
Ditanya soal bagaimana komunikasi di perjalanan yang berbeda bahasa, ia akan menggunakan internet untuk berhubungan dengan kawannya di Indonesia. Misalnya jika membutuhkan sesuatu, ia akan meminta bagaimana pengucapannya dalam bahasa Inggris ke temannya itu.
Kalau sampai ke kampung Cheng Ho, kata dia, pertama yang akan dilakukan adalah melukis Cheng Ho dengan Hayam Wuruk. “Saya akan tinggal di situ beberapa hari dan akan melukis peristiwa Cheng Ho dengan majapahit,” katanya. (Abdullah Alawi)