Jakarta, NU Online
Adat atau tradisi yang diadopsi Islam Nusantara harus bukan ‘pokoknya adat’ atau ‘pokoknya tradisi’, namun adat atau tradisi ini harus dilihat secara kritis.
Demikian disampaikan Kiai MN Harisudin, guru besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Jawa Timur bidang ushul fiqih di auditorium Islam Nusantara Center (INC) Jakarta, Selasa (22/1).
Di depan ratusan peserta diskusi bertajuk Adat dalam Fatwa-fatwa Ulama Nusantara, Harisudin memaparkan pentingnya tradisi-tradisi yang menjadi pilar Islam Nusantara untuk dilihat secara kritis.
Mengapa tradisi atau adat dalam Islam Nusantara tidak boleh asalkan adat atau pokoknya tradisi? “Karena adat-adat yang dilestarikan oleh Nahdlatul Ulama, harus benar-benar yang memenuhi kualifikasi sahih atau on the right track,” jelasnya.
Diskusi yang juga menghadirkan Khairul Anam selaku dosen Unusia Jakarta sebagai pembanding tersebut, Harisudin mengemukakan sejumlah alasan.
“Kita ingin agar adat-adat yang dilestarikan bukan asal adat, namun adat yang tidak bertentangan dengan syariat dan adat yang secara positif memiliki daya guna pada masyarakat NU dan Indonesia pada umumnya,” urai guru besar termuda di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri tersebut.
Selama ini, yang terjadi adalah adat atau tradisi hanya dilihat dari perspektif tidak bertentangan dengan syariat seperti dalam kaidah fiqih ats tsabitu bil ‘urfi kats tsabiti bin nasshi ma lam yukhalif syar’an.
Menurut Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember ini, setiap tradisi atau adat yang sahih selalu mengandung dimensi kemaslahatan. “Orang-orang dulu menciptakan adat karena ada kandungan maslahah di situ,” ungkapnya.
Sejumlah maslahah misalnya ajakan tauhid, membangun kebersamaan, silaturahim, menghormati yang tua, dan sebagainya. “Sayangnya, ini tidak tersosialisasikan dengan baik di masyarakat sekarang,” kata Wasekjen Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP PTSI Pusat) tersebut.
Selain itu, dirinya juga mendorong agar diciptakan adat baru yang disebut dengan adat progresif yang sesuai dengan zaman sekarang. “Di masa sekarang, kita butuh agar adat-adat relevan dengan kondisi kekinian,” katanya.
Misalnya adat yang dikreasi untuk mengokohkan bangunan keberagamaan atau pluralitas, toleransi beragama, penghormatan pada perempuan, penghargaan pada difabel dan sebagainya. “Ini harus ditemukan dan dicipta untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara se-Indonesia ini.
Sementara, adat-adat yang sudah tidak relevan dan lapuk dimakan usia atau adat yang bertentangan dengan syariat, hendaknya diamputasi dalam kehidupan. “Kalau adat yang fasid, bertentangan syariat, maka dimodivikasi bagaimana tidak fasid,” pintanya.
Bila ada yang mengandung potensi syirik dan memubazirkan harta seperti dalam larung sesaji, maka dimodivikasi dengan cara tidak ada syirik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan diisi khataman, shalawatan hingga santunan anak yatim.
“Kalau adat yang fasid, ini sudah tidak bisa lagi dimodivikasi, maka diamputasi dalam kehidupan,” pungkas Sekjen PP Keluarga Alumni Ma’had Aly Situbondo tersebut. (Sohibul Ulum/Ibnu Nawawi)