Nasional

Desainer Indonesia Tantang Stereotype Busana Muslimah

Jumat, 25 Oktober 2013 | 07:01 WIB

Jakarta, NU Online
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, kebutuhan pakaian yang sesuai dengan kriteria Muslimah sangat besar.<>

Selain memenuhi kebutuhan lokal, Indonesia juga menargetkan diri menjadi pemimpin dalam industri busana Muslimah, yang kini nilainya diperkirakan mencapai $100 milyar dolar.

Pemerintah turut kini mendorong para desainer muda untuk mengembangkan bisnis ini, yang menyerap lebih dari tiga juta tenaga kerja dan memberi kontribusi ekonomi sebesar $15 Milyar.

"Kita dapat menjadi trend-setter," kata Mari Pangestu, menteri Pariwisata dan Industri Kreatif. "Kita memiliki visi dan misi menjadi ibukota fashion Muslim dunia,” katanya seperti dilansir Reuters.

Tafsir tentang aturan berpakaian yang memenuhi kaidah syariah berbeda antara berbagai negara, dari yang sangat ketat seperti Arab Saudi dan Afganistan, yang mewajibkan perempuan menutup seluruh badan, dari ujung kepala sampai ujung kaki sampai versi yang lebih moderat seperti di Indonesia dan Malaysia.

Pakaian Muslimah harus menutupi kepala dan tidak boleh ketat menempel di badan. Tiga orang desainer Indonesia menampilkan karya mereka menantang stereotype pakaian Muslimah tidak modis dalam koleksinya.

Nur Zahra menampilkan desain yang bersahaja dengan material organik dan warga natural, yang didominasi indigo dan khaki.

Jenahara Nasution menampilkan pola garis-garis ketimuran yang mewah dengan potongan yang halus dengan lapisan organdi dan sutra sifon, beraksen sulaman tradisional Tasikmalaya Jawa Barat.

Dian Wahyu Utami dengan merek Dian Pelangi menampilkan gaya 1960an dengan wana cerah dalam batik.

Modern dan keren

Tiga desainer tersebut, yang merupakan bagian dari program pemerintah untuk mengembangkan bakat muda untuk pasar internasional, mengatakan mereka ingin menciptakan pakaian dengan daya tarik yang luar, termasuk untuk perempuan di negara-negara Barat.

"Membuat pakaian Muslimah yang terlihat keren merupakan misi kami,” kata Nasution yang kini berumur 27 tahun.

Sementara itu merek Jenahara sedang dalam pembicaraan dengan agen dari Milan untuk memasarkan produknya ke Itali, Rusia dan Dubai. Dia mengatakan, kapasitas produksinya telah meningkat dua kali lipat dalam satu tahun terakhir.

"Agen telah meminta pesanan awal 200 potong per musim," kata Nasution. "Tapi setelah mereka melihat koleksi saya, mereka meminta kontrak untuk tiga tahun.”

Wahyu Utami, yang orang tuanya memulai merek Dian Pelangi 22 tahun yang lalu, pertama kali menampilkan produknya di catwalk secara langsung di Melbourne. Dia mendapat “respon luar biasa" dan permintaan yang banyak dari koleksi model berikutnya, katanya.

"Saya melihat potensi internasional untuk Muslim fashion,” katanya.

Dian Pelangi sekarang memiliki cabang di Malaysia dan memperluas pasarnya ke Singapura dan Brunei. Mereknya juga memiliki pembeli di Australia, Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Kuwait. Koleksinya juga dijual di pameran di Perancis, Jerman, Hungaria dan negara Eropa lainnya.

"Kami belum meraih pasar di Amerika Serikat, jadi itu merupakan target kami ke depan. Saya juga ingin membuka toko saya sendiri di Timur Tengah, tidak sekedar menjual koleksi di Departemen Store," kata Wahyu Utami.

"Korea terkenal dengan budaya K-Pop-nya dan Indonesia terkenal dengan pakaian Muslimnya, karena itu, mengapa kita tidak fokus pada ini?” (mukafi niam).
Foto: Antara


Terkait